A. Pendahuluan
Pembahasan mengenai
kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum
dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai
ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang
terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan
pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.
Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti
itu.
Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan
utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang
sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan
mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus
ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli
sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya.
Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi
tentang arti kurikulum.
Alasan kedua adalah
karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan
dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis
kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang
wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang
kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula menyempitkan posisi
kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan
individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.
Pembahasan mengenai
posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh
terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan.
Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli kurikulum tidak
banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan
dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya
bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan
dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam
kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu
menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian
terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup
setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.
Pembahasan mengenai
proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum
dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan
pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang
seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide
kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses
implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum
dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur
keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.
B. Pengertian Kurikulum
Dalam banyak
literature, kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana
tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik
melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa
kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana
tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai
kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum
tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa
kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus
dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari
peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik.
Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses
pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para
pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum
sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak
terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen
adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran
tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau
ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik
sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva
(1997:12) mengatakan “Curriculum itself is a construct or concept, a
verbalization of an extremely complex idea or set of ideas”.
Selain kurikulum
diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum mengemukakan berbagai definisi
kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada
dirinya. Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini:
filosofi kurikulum
ruang lingkup komponen
kurikulum
polarisasi kurikulum –
kegiatan belajar
posisi evaluasi dalam
pengembangan kurikulum
Pengaruh pandangan
filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang
dinyatakan sebagai “subject matter”, “content” atau
bahkan “transfer of culture”. Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum
sebagai “transfer of culture” adalah dalam pengertian kelompok ahli
yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner
dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama
dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan
oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu
berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas.
Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan
kurikulum yang merupakan proses bagi “cultivation
of the rational powers: academic excellence” sedangkanessentialism memandang
kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan “academic excellence dan cultivation of intellect”. Perbedaan
antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism “the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only
through permanent studies that constitute our intellectual inheritance”. Permanent
studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri
atas Great Books, reading, rhetoric, and logic,
mathematics. Sedangkan bagi essentialismberanggapan bahwa kurikulum
haruslah mengembangkan “modern needs through the fundamental academic
disciplines of English, mathematics, science, history, and modern
languages” (Tanner dan Tanner, 1980:109).
Perbedaan ruang lingkup
kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang
berpendapat bahwa kurikulum adalah “statement of objectives” (McDonald;
Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk
mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan
Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang
berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan
kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang
dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa
kurikulum adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan tertentu” (pasal 1 ayat
19).
Definisi yang
dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang
direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas
(instruction atau pengajaran). Memang banyak akhli kurikulum yang menentang
pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara
keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum
adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan
apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang
mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang
dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan
perbedaan cara pandang antara kelompok akhli kurikulum dengan
akhli teaching (pangajaran). Baik akhli kurikulum mau pun pengajaran
mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan
tujuan.
C. Posisi Kurikulum
dalam Pendidikan
Dalam usaha pencapaian
tujuan pendidikan, peran kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah sangatlah
strategis. Bahkan kurikulum memiliki kedudukan dan posisi yang sangat sentral
dalam keseluruhan proses pendidikan, serta kurikulum merupakan syarat mutlak
dan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri, karena peran
kurikulum sangat penting maka, menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait
dala proses pendidikan.
Bagi guru, kurikulum
berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Bagi
kepala sekolah dan pengawas berfungsi sebagai pedoman supervisi atau
pengawasan. Bagi orang tua kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk
memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan. Sedangkan bagi
siswa kurikulum sebagai pedoman pelajaran.
Dalam pengertian
kurikulum yang dikemukakan tersebut harus diakui ada kesan bahwa kurikulum
seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah
memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki
rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian tersebut memang
pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara
administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini
menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama
adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan
lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik
adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau
pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah
desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka
kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap
masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka
untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga
pendidikan tersebut harus dapat memberikan “academic accountability” dan “legal
accountability” berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji
dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu
lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang
ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi
di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus
mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam
pengertian “intrinsic” kependidikan maka kurikulum adalah jantung
pendidikan. Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah
didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah
kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum.
Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah
didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas,
di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan
kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan
sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang
dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan
sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas
apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu
lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta
didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan
akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan
pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini
hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum
dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup,
dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga
menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan
dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum
harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa
mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi
kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan
kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan
masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat
baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi
kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah
kurikulum adalah “construct” yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah
terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan
atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis
perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum
ini. Posisi kedua adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk
menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi
ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan
filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk
membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan
berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk
mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan
masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional,
tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan.
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang
diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar
Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam
masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas
pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena
pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap
warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas
yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya
oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan
Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan
Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki
tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup
kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka
kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam
pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang
harus dikembangkan pada diri peserta didik.
Undang-Undang nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan
bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan
iman dan takwa;
b. peningkatan
akhlak mulia;
c. peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman
potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan
pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia
kerja;
g. perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika
perkembangan global; dan
j. persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas
menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang
menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan
agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global.
Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab
permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan
dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat 2).
Secara formal, tuntutan
masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana
pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa
depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri,
reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan
disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan
tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan
tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan
kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat,
dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi
tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya
menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum
yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral
dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan
esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi
dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan
teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata
pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang
dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan
Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan
daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang “penting”. Alokasi waktu ini
adalah “construct” para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap
permasalahan yang ada.
Kiranya tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan
spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian
(kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan
matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS
atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan
dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian
kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar
dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang
digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja,
masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang
dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan
social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan “construct”
yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan
karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat
konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang
diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung
pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada
peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan
bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul
adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah
menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus
dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20
tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus
dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas
bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius,
produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar
membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis,
cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu,
menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus
mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut
sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas
kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan
ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang
menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk
memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika
penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan
untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan
itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model
penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model
baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah
pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi
mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di
jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih
memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan
peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan
keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang
pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar
keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan
terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal
yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan
pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja
keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain,
dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus
diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
D. Proses
Pengembangan Suatu Kurikulum
Dalam perjalanannya
dunia Pendidikan Indonesia telah menerapkan enam kurikulum, yaitu Kurikulum
1968, Kurikulum 1975, kurikulum1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 atau
Kurikulum Berbasis Kompetensi (meski belum sempat disahkan pemerintah, tetapi
sempat berlaku di beberapa sekolah piloting project), dan terakhir Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan pemerintah melalui Permen
Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Nomor 23 tentang Standar
Komnpetensi Lulusan, dan Permen Nomor 24 tentang Pelaksanaan kedua Permen
tersebut. Ada rumor yang berkembang dalam masyarakat bahwa ada kesan “Ganti
Menteri Pendidikan Ganti Kurikulum.” Kesan itu bisa benar bisa tidak, tergantung
dari sudut mana kita memandang. Kalau sudut pandangnya politis, maka pergantian
sistem pendidikan nasional, termasuk di dalamnya perubahan kurikulum akan
selalu dikaitkan dengan kekuasaan (siapa yang berkuasa).
Namun, kalau sudut
pandangnya nonpolitis, pergantian kurikulum merupakan suatu hal yang biasa dan
suatu keniscayaan dalam rangka merespons perkembangan masyarakat yang beitu
cepat. Pendidikan harus mampu menyesuaikan dinamika yang berkembang dalam
masyarakat, terutama tuntutan dan kebutuh masyarakat. Dan itu bisa dijawab
dengan perubahan kurikulum. Seorang guru yang nantinya akan melaksanakan
kurikulum di kelas melalui proses belajar mengajar, dipandang perlu mengetahui
dan memahami kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia. Dengan demikian, para guru
dapat mengambil bagian yang terbaik dari kurikulum yang berlaku di Indonesia
untuk diimplementasikan dalam menjalankan proses belajar mengajar.
1. Kurikulum 1968
Sebelum diterapkan
kurikulum 1968, pada tahun 1947 pernah diterapkan Rencana Pelajaran yang pada
waktu itu menteri pendidikannya dijabat Mr. Suwandi. Rencana Pelajaran 1947
memuat ketentuan sebagai berikut: (l) bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa
pengantar di sekolah; (2) jumlah mata pelajaran untuk Sekolah Rakyat (SR) 16
bidang studi, SMP 17 bidang studi, SMA jurusan B 19 bidang studi. Lahirnya
Rencana Pelajaran 1947 diawali dari pembenahan sistem per sekolah pasca
Indonesia merdeka yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi,
pembenahan ini baru bisa diterapkan pada tahun 1965 melalui keputusan Presiden
Nomor 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok sistem Pendidikan Nasional Pancasila.
Jiwa kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.
Setelah berakhirnya
kekuasaan orde lama, keluar Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/I966 yang berisi
tujuan pendidikan membentuk manusia Pancasilais sejati. Dua tahun kemudian
lahirlah Kurikulum 1968, sebuah pedoman praksis pendidikan yang terstruktur
pertama kali (Cony Semiawan, 19B0). Tujuan pendidikan menurut Kurikulum 1968
adalah mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan
beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina/mengembangkan
fisik yang kuat dan sehat. Ketentuan-ketentuan dalam kurikulum 1968 adalah: (1)
bersifat: correlated subject currikulum; (2) jumlah mata pelajaran untuk SD 10
bidang studi, SMP 18 bidang studi (Bahasa Indonesia dibedakan bahasa Indonesia
I dan II, SMA jurusan A 18 bidang studi, SMA jurusan B 20 bidang studi, jurusan
SMA C 19 bidang studi; (3) penjurusan SMA dilakukan di kelas II. Pada waktu
diberlakukan Kurikulum I968 yang mejabat menteri pendidikan adalah Mashuri.
S.H.
2. Kurikulum 1975
Kurikulum ini
ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat Letjen TNI Dr. Syarif Thajeb
(1973-1978). Ketentuan-ketentuan Kurikulum 1975 adalah: (1) Sifat: integrated
curriculum organization; (2) SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9
bidang studi; (3) pelajaran Ilmu Alam dan llmu Hayat menjadi Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA); (4) pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi Matematika; (5)
jumlah mata pelajaran SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi; (6) penjurusan SMA
dibagi tiga IPA, IPS dan Bahasa dimulai pada permulaan semester II kelas 1.
Ketika belum semua sekolah mengimplementasikan Kurikulum 1975, mulai dirasakan
kurikulum ini tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Maka kurikulum
1975 diganti oleh Kurikulum 1984.
3. Kurikulum 1984
Kurikulum ini
diterapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
seorang ahli sejarah Indoesia. Ketentuan-ketentuan dalam Kurikulum 1984 adalah:
(1) Sifat: Content Based Curnculum; (2) Program pelajaran mencakup 11 bidang
studi; (3) Jumlah mata pelajaran SMP menjadi 12 bidang studi; (4) Jumlah mata
pelajaran SMA 15 bidang studi untuk program inti, 4 bidang studi untuk program
pilihan; (5) Penjuusan SMA dibagi lima: program A1 (Ilmu Fisika), A2 (Ilmu
Biologi), A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya, dan A5 (Ilmu Agama); (6) Penjurusan
dilakukan di kelas II. Pada Kurikulum 1984 penambahan bidang studi, yakni Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Hal ini bisa dimaklumi karena menteri
pendidikan saat itu dijabat oleh seorang sejarawan. Dalam perjalanannya,
Kurikulum 1984 dianggap oleh banyak kalangan dianggap sarat beban sehingga
diganti dengan Kurikulum 1994 yang lebih sederhana.
4. Kurikulum 1994
Kurikulum ini
ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof Dr. Ing Wardiman
Djojonegoro seorang teknokrat yang menimba ilmu di Jerman Barat bersama BJ.
Habibie. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum 1994 adalah: (l)
bersifat: Objective Based Curriculum: (2) nama SMP diganti mejadi SLTP (Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum); (3) mata
pelajaran PSPB dihapus; (4) program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13
mata pelajaran; (5) Program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata pelajaran; (6)
Penjurusan SMA dilakukan di kelas II yang
dari program IPA,
program IPS, dan program Bahasa. Ketika reformasi bergulir tahun 1998,
Kurikulum 1994 mengalami penyesuaian-penyesuaian dalam rangka mengakomodasi
tuntutan reformasi. Oleh karena itu, muncul suplemen Kurikulurn 1994 yang lahir
tahun 1999. Dalam suplemen tersebut ada penyesuaian-penyesuaian materi
pelajaran, terutama mata pelajaran seperti PPKN, Sejarah, dan beberapa mata
pelajaran yang lainnya. Lagi-lagi kurikulum ini pun mengalami nasib yang sama
dengan kurikulum sebelumnya. Bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989, pemerinrah melalui Departemen pendidikan Nasional menggagas
kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
5. Kurikulum Berbasis
Kompetensi (Kurikulum 2004)
Kurikulum Berbasis
Kompetensi lahir di tengah-tengah adanya tuntutan mutu pendidikan di
Indonesia. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa mutu pendidikan Indonesia
semakin hari semakin terpuruk. Bahkan dengan negara tetangga pun yang dulu
belajar ke Indonesia, seperti Malaysia, Indonesia tertinggal dalam hal mutu
pendidikan. Pendidikan di Indonesia dianggap hanya melahirkan lulusan yang akan
menjadi beban negara dan masyarakat, karena kurang ditunjang dengan kompetensi
yang memadau ketika terjun dalam masyarakat. Untuk merespons hal tersebut
pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional menawarkan kurikulum yang
dianggap mampu menjawab problematika seputar rendahnya mutu pendidikan dewasa
ini. Karena dalam Kurikulum Berbasis Komperensi peserta didik diarahkan untuk
menguasai sejumlah kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditentukan
(Kunandar, 2005).
Kurikulum Berbasis
Komperensi digagas ketika Menteri Pendidikan dijabat oleh Prof. Abdul Malik
Fadjar, M.Sc. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
adalah: (1) bersifat: Competency Based Curriculum: (2) penyebutan SLTP menjadi
SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMU menjadi SMA 9Sekolah Menengah Atas); (3)
program pengajaran SD disusun 7 mata pelajaran; (4) program pengajaran SMP
disusun dalam 11 mata pelajaran; (5) program pengajaran SMA disusun dalam 17 mata
pelajaran; (6) penjurusan SMA dilakukan di kelas II, terdiri atas Ilmu Alam,
Sosial, dan Bahasa (Kompas, 16 Agustus 2005)
Kurikulum Berbasis
Kompetensi meskipun sudah diujicobakan di beberapa sekolah melalur pilot
project, tetapi ironisnya pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan
Nasional belum mengesahkan kurikulum ini secara formal. Sepertinya pemerintah
masih ragu-ragu dengan kurikulum ini. Hal ini dimaklumi, karena uji coba
kurikulum ini menuai kritik dari berbagai kalangan, baik para ahli pendidikan
maupun praktisi pendidikan. Beberapa kritik terhadap kurikulum ini adalah: (1)
Masih sarat dengan materi sehingga ketakutan guru akan dikejar-kejar materi
seperti yang terjadi pada kurikulum 1994 akan terulang kembali; (2) pemerintah
pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional masih terlalu intervensi
terhadap kewenangan sekolah dan guru untuk mengembangkan kurikulum tersebut;
(3) masih belum jelasnya (bias) pengertian kompetensi sehingga ketika
diteraplkan pada standar, kompetensi kelulusan belum terlalu aplikatif; (4)
adanya sistem penilaian yang belum begitu jelas dan terukur.
Melalui kebijakan
pemerintah, kurikulum berbasis kompetensi mengalami revisi, dengan
dikeluarkannya Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Diknas Nomor
23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen Diknas Nomor 24 tentang
Pelaksanaan kedua permen di atas. Ketiga permen tersebut dikeluarkan pada tahun
2006. Dengan dikeluarkannya ketiga permen tersebut seakan menjawab
ketidakjelasan nasib KBK yung selama ini sudah diterapkan di beberapa sekolah,
baik melalui pitot project atau swadaya dari sekolah tersebut. Keterandan dan
keunggulan kurikulum ini pun masih perlu diuji di lapangan dan waktu yang nanti
akan menjawabnya.
6. Kurikulum Tingkat
satuan Pendidikan (KTSP)
Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi atau ada yang menyebut Kurikulum 2004. KTSP lahir karena dianggap
KBK masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini
Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam mengembangan kurikulum. OIeh
karena itu, dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan
pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberikan kewenangan untuk
mengembangan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa
komponen kurikulum lainnya.
7. Prinsip-prinsip
Pengembangan Kurikulum
a. Prinsip
Relevansi
Dalam Oxford Advanced
Dictionary of Current English,kata relevansi atau relevan mempunyai arti
(closely)connected with what is bappening, yakni kedekatan hubungan dengan apa
yang terjadi.Apabila dikaitkan dengan pendidikan, berati perlunya kesesuaian
antara (program)pendidikan dengan tuntunan kehidupan masyarakat(the needs of
society). Pendidikan dikatakan relevan bila hasil yang diperoleh akan berguna
bagi kehidupan seseorang.
Menurut Soetopo dan
Soemanto ia mengungkapkan relevansi sebagai berikut :
Relevansi pendidikan
dengan lingkungan anak didik.relevansi ini memiliki arti bahwa dalam
pengembangan kurikulum,termasuk dalam menentukan bahan pengajaran(subject
mattrs),hendaknya disesuaikan dengan kehidupan nyata anak didik.sebagai contoh
sekolah yang berada diperkotaan, anak didinya ditawarkan halyang aktual,seperti
polusi pabrik,arus perdagangan yang ramai, kematan lalu lintas,dan lain-lain.
Atausebaliknya anak-anak yang berada dipedesaan ditawarkan hal-hal yang
relevan,misalnya memperkenalkan pertanian kepada anak didik,karena daerah
tersebut merrupakandaerah pedesaan yang subur akan pertanian.
Relevansi pendidikan
dengan kehidupan yang akan datang. Materi atau bahan yang akan diajarkan kepada
anak didik hendaklah memberi manfaat untuk persipan masa depan anak
didik.Karenanya keberadaan kurikulum disini bersifat antisipasi dan memiliki
nilai prediksi secara tajam dan perhitungan.
Relevansi pendidikan
dengan dunia kerja.Semua orang tua mengharapkan anaknya dapat bekerja sesuai
dengan pengalaman pendidikan yang dimilikinya .Begitu juga halnya dengan
anak didik,ia berharapn agar dapat mandiri dan memiliki sumber daya ekonomi yang
pantas dengan modal ilmu pengetahuannya.karenanya kurikulum dan proses
pendidikan tersebut sedapat mungkin dapat diorientasikan kedunia kerja,tentunya
menurut jenis pendidikan, sehingga nantinya pengetahuan teoritik dari bangku
sekolah dapat diaplikasikandengan baik dalam dunia kerja.
Relevansi pendidikan
dengan ilmu pengetahuan.Kemajuan ilmu pendidikan juga membuat maju ilmu
pengetahuan dan teknologi. Banyak negara tadinya miskin sekarang menjadi
kaya.contohnya Jepang,korea Selatan,Singapura,dan lain-lain.semua ini berkat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapakan kurikulum dapat memberikan
peluang pada anak didik untuk mengembangkan ilmu pengetahuandan
teknologi,selalu mengembangkanya dan tidak cepat puas.
b. Prinsip
Efektivitas
Prinsip efektivitas
yang dimaksudkan adalah sejauh mana perencanaan kurikulum dapat dicapai sesuai
dengan keinginan yang telah ditentukan. Dalam proses pendidikan, efektivitasnya
dapat dilihat dari sisi,yakni :
Efektivitas mengajar
pendidik berkaitan dengan sejauh mana kegiatan belajar mengajar yang telah
direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik.
Efektivitas belajar
anak didik,berkaitan dengan sejauh mana tujuan-tujuan pelajaran yang diinginkan
telah dicapai melalui kegiatan belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
c. Prinsip
Efisensi
Prinsip efisiensi
sering dikonotasikan dengan prinsip ekonomi,yang berbunyi : modal atau biaya,
tenaga dan waktu yang sekcil-kecilnya akan dicapai hasil yang
memuaskan.efesiensi proses belajar mengajar akan tercipta, apabila
usaha,biaya,waktu,dan tenaga yang digunakan untuk menyelesaikan program
pengajaran tersebtu sangat optimal dan hasilnya bisa seoptimalmungkin, tentunya
dengan pertimbangan yang rasional dan wajar.
d. Prinsip
Kesinambungan
Prinsip kesinambungan
dalam pengembangan kurikulum menunjukan adanya saling terkait antara tingkat
pendidikan, jenis program pendidikan, dan bidang studi.
Kesinambungan di antara
berbagai tingkat sekolah :
Kesinambungan diantara
berbagai bidang studi ;
Bahan pelajaran yang
diperlukan untuk belajar lebih lanjut pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi
hendaknya sudah diajarkan pada tingkat pendidikan sebelumnya atau dibawahnya.
Bahan pelajaran yang
telah diajarkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah tidak harus diajarkan
lagi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi,sehingga tertinggal dari tumpang
tindih dalam pengaturan bahan dalam proses belajar mengajar.
Kesinambungan di antara
berbagai biodang studi menujukan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus
memperhatikan hubungan antara bidang studi yang satu dengan lain yang lainya.
Misalnya untuk mengubah angka temperatur dari skala celsius ke skala Fahreheit
dalam IPA diperlukan ketrampilan dalam pengalian pecahan.
e. Prinsip
Fleksibilitas (Keluwesan)
Fleksibilitas berarti
tidak kaku, dan ada semacam ruang gerak yang memberikan kebebasan dalam
bertindak. Didalam kurikulum,fleksibilitas dapat dibagi menjadi dua macam yakni
:
Fleksibel dalam memilih
program pendidikan
Fleksibelitas dalam
pengembangan program pengajaran.maksudnya adalah dalam bentuk memberikan
kesempatan kepada para pendidik dalam mengembangaklan sendiori program-program
pengajaran dengan berpatok pada tujuan dan bahan pengajaran diidalam kurikulum
yang masih bersifat umum.
f. Prinsip
Berorientasi tujuan
Prinsip berorientasi
tujuan berarti bahwa sebelum bahan ditentukan, langkah yang perlu dilakukan
oleh seorang pendidik adalah menentukan tujuan terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan agra semua jam dan aktivitasd pengajaran yang dilaksanakan oleh
pendidik maupun anak didik dapat betul-betul terarahkepada tercapainya tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan.
g. Prinsip dan
Model Pengembangan Kurikulum
Prinsip ini memiliki
maksud bahwa harus ada pengembangan kurikulum secara bertahap dan terus
menerus,yakni dengan cara memperbaiki, memantapakan dan mengembangakan
lebih lanjut kurikulum yang sudah berjalan setelah ada pelaksanaan dan sudah
diketahui asilnya.
8. Pendekatan
Pengembangan Kurikulum
Para pengembang
(developers) telah menemukan beberapa pendekatan dalam pengembangan kurikulum.
Yang dimaksudkan pendekatan adalah cara kerja dengan menerapkan straegi dan
metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistimatis
agar memperoleh kurikulum yang lebih baik.Pendekatan-pendekatan yang
dikembangkan para pengembang adalah :
Pendekatan Bidang Studi
(Pendekatan Subjek atau Disiplin Ilmu
Pendekatan ini
menggunkan bidang studi atau matapelajaran sebagai dasar organisasi kurikulum,
misalnya matematika ,sains,sejarah,IPA,dan lainya.
Pengembangandimulai
dengan mengidentifikasi secara teliti pokok-pokok bahasan yang akan
dibahas,kemudian poko-pokok bahasan tersebut diperinci menjadi bahan-bahan
pelajaran yang harus dikuasai,dan akhirnya mengidentifikasi dan mengurutkan
pengalaman belajar fdan ketrampilan –ketrampilan yang harus dilakukan anak
didik.
Pendekatan berorentasi
pada tujuan
Pendekatan yang
berorentasi tujuan ini menempatkan rumusan atau penempatan tujuan yang hendak
dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar. Tujuan matematioka misalnya sama dengan
konsep dasar dan disiplinilmu matematika . Prioritas pendekatan ini adalah
penalaran Pengewtahuan.
Kelebihan pendekatan
pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan adalah ;
Tujuan yang ingin
dicapai jelas bagi penyusun kurikulum.
Tujuan yang jelas akan
meberikan arahan yang jelas pula didalam menerapkan materi
pelajaran,metode,jenis kegiatan,dan alat yang dipergunakan unbtuk mencapai
tujuan.
Hasil penilaian yang
terarah
E. Prinsip dan Peranan
Kurikulum
Kurikulum merupakan
suatu system yang memiliki komponen-komponen tertentu sisitem kurikulum
terbentuk oleh 5 komponen, yaitu komponen tujuan, isi kurikulum (materi),
metode atau kegiatan belajar, sumber belajar yang terdiri dari alat, bahan,
serta komponen penilaian ( evaluasi ). Jika kita menilik dari berbagai jenis
kurikulum yang telah diterapkan, maka secara garis besar bahwa ke lima komponen
yang tersebut diatas pada dasarnya sudah ada disetiap kurikulum yang pernah
diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun yang menjadi masalah
adalah karena kurikulum tersebut yang bersifat fleksibel, maka pemberlakuan isi
kurikulum tersebut memang disesuaikan dengan waktu dan situasi tertentu sesuai
dengan tuntutan zaman. Perubahan isi kurikulum inilah yang menjadi masalah,
mengingat pemberlakuannya cukup sulit untuk dapat diterapkan serentak secara
nasional. Akibatnya hanya wilayah-wilayah tertentu saja yang dapat mengikuti
perkembangan kurikulum tersebut, sementara wilayah lain boleh jadi tidak
mengenal kurikulum yang sedang diberlakukan, dan tiba-tiba saja sudah ganti
kurikulum yang baru.
Secara umum ada
beberapa pendekatan perkembangan kurikulum yang pernah diterapkan dalam
pengembangan kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pendekatan tersebut antara lain :
Dari awal kemerdekaan
sampai pertengahan tahun 1960-an pendekatan berbasis materi (content
based approach)
Akhir tahun 1960 –an
sampai dengan pertengahan tahun1980-an pendekatan berbasis
kompetensi (competence based approach) dan pendekatan belajar
tuntas (mastery learning approach)
Akhir tahun 1980-an
sampai dengan awal 1990-an pendekatan berbasis out come (outcome based
approach)
tengah tahun1990-an
sampai dengan sekarang pendekatan berbasis standar (standard based
approach)
Melihat beberapa
pendekatan yang telah dilakukan dalam rangka pembenahan kurikulum tersebut
dapat ditarik benang merah bahwa penerapan kurikulum hanyalah perubahan disain
isi kurikulum tersebut. Dan inilah masalah yang timbul ketika kita akan
menerapkan kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan zaman.
F. Asas-asas Kurikulum
Dalam perkembangan
kurikulum, banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum
mengambil suatu keputusan. Apapun jenis kurikulumnya pasti memerlukan asas-asas
yang harus dipegang, asas-asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang
memiliki hal-hal yang bertentangan, karena harus memerlukan seleks.
Perkembangan kurikulum pada suatu negara, baik di negara-negara
berkembang,negara terbelakang dan negara-negara maju,bisa dipastikan mempunyai
perbedaan-perbedaan yang mungkin mendasar,tetapi tetap ada persamaan.
Falsafah yang
berlainan,bersifatotoriter,demokratis,sekuler,atau religius, akan memberi warna
yang berbeda dengan kurikulum yang dimiliki oleh bangsa bersangkutan. Begitu
juga apabila dilihat dari masyarakat,organisasi bahan yang digunakan, dan
pilihan psikologi belajar dalam mengembangkan kurikulum tersebut. Lebih lanjut
akan diureaikan empat asas perkembangan kurikulum tersebut.
1. Asas Filosofi
Falsafah dalam arti
sebenarnya adalah cinta akan kebenaran yang merupakan rangkaian dua pengertian,
yakni philein (cinta) dan shopia(kebijakan). Dalam batasan modern, filsafat
diartikan sebagi ilmu yang berusaha memahami semua hal yang muncul di dalam
keseluruhan lingkup pengalaman manusia,yang berharap agar manusia dapat
mengertidan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta
dan tempat manusia didalamnya. Intinya manusia merupakan bagian dari
dunia.(Bernadid,1944 11).
2. Asas Sosiologis
Asas sosiologis
mempunyai peranan penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada
masyarakat dan bangsa dimuka bumi ini.Suatu kurikulum pada prinsipnya
mencerminkan keinginan,cita-citatertentu dan kebutuhan mayarakat. Karena
itu,sudah sewajarnya kalau pendidikan memerlukan aspirasimasyarakat.dan
pendidikan mesti memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan
sosio-politik-ekonomiyang dominan. Berbagai kesukaran juga akan muncul apabila
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, seperti militer, politik, agama,
swasta, dan lain-lain, mengajukan keinginanyang bertentangan dengan kepentingan
kelompok masing-masing.
Dari sudut pandang
sosiologis,dalam sisitem pendidikan serta lembaga –lembaga pendidikan terdapat
bahan yang memiliki beragam fungsi bagi kepentingan mayarakat yakni :
Mengadakan revisi dan
perubahan sosial
Mempertahankan
kebebasan akademis dan kebebasan melaksanakan penelitian ilmiah
Mendukung dan turut
memberi kontribusi kepada pembangunan
Menyampaikan kebudayaan
dan nilai-nilai tradisional serta mempertahankan status quo
Banyak lagi aspek lain
yang turut memberi pengaruh mengenai apa yang harus dimasukan kedalam
kurikulum, yakni yang menjadi kebutuhan masyarakat.antara lain
Interaksi yang kompleks
antara kekuatan–kekuatran sosial, politik, ekonomi, militer, industri, kultur
masyarakat
Berbagai kekuatan
dominan,sebagaiman diungkapkan diatas
Pribadi pimpinandan
tokoh yang memegang kekuasaan formal
Menganalisis masyarakat
dimana sekolah berada
Menganalisis syarat dan
tuntutan terhadap individu dalam ruang lingkup kepentingan masyarakat
Dalam mengambil
keputusan mengenai kurikulum, para pengembang mesti merujuk pada lingkungan
atau dunia dimana mereka tinggal,merespon berbagai kebutuhan yang dilontarkan
atau diusulkanoleh beragam golongan dalam masyarakat.
3. Asas Psikologis
Konstribusi psikologis
terhadap studi kurikulum memiliki dua bentuk, yaitu : (1) Model konseptual dan
informasiyang akan membangun perencanaan pendidikan; (2) Berisikan berbagai
metode yang diadaptasi untuk penelitian pendidikan. Dalam memilih pengalaman
belajar yang akurat, psikologi secara umum sangat membantu. Teori-teori
belajar,teori kognitif,pengembangan emosional,dinamika group,perbedaan
kemampuan individu,kepribadian model formasi sikap dan perubahan dan mengetahui
motivasi,semuanya sangat relevan dalam merencanakan pengalaman-pengalaman.
4. Asas
Organisator
Peranan asas
organisator dalam pengembangan kurikulum adalah mengorganisasikan bahan bagi
keperluan pengajaran,salah satu caranya adalah dengan mengorganisasikan bahan
berdasarkan topik, tema, kronogi, isu, logika, proses disiplin.
Sebagai konklusi dari
uraian asa organisator tersebut ada 3 hal utama yang perlu diperhatikan yakni :
Tujuan bahan pelajaran
Mengajarkan ketrampilan
untuk masa sekarang atau mengajarkan ketrampilan untuk masa depan,untuk
membantu sisiwa dalam memecahkan masalah,untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk
mengembangkan ciri ilmiah, untuk memupuk jiwa warga negara yang baik
Sasaran bahan Pelajaran
Siapkah pelajar
itu,apakah latar belakang pendidikan dan pengalamannya,sampai dimana tingkat
perkembangannya, bagaimana profil kepribadianya
Pengorganisasian bahan
Bagaimana bahan
pelajaran diorganisasi: apakah berdasarkan topik,konsep,kronologi,dan
lain-lain.
G. Penutup
Salah satu variabel
yang memengaruhi sistem pendidikan nasional adalah kurikulum. Oleh karena
itu, kurikulum harus dapat mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat.
Kurikulum harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat luas dalam menghadapi
persoalan kehidupan yang dihadapi. Sudah sepatutnya kalau kurikulum itu terus
diperbaharui seiring dengan realitas, perubahan, dan tantangan dunia pendidikan
dalam membekali peserta didik menjadi manusia yang siap hidup dalam berbagai
keadaan. Kurikulum harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial,
relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan keberagaman keperluan dan
kemajuan teknologi
Kurikulum jangan sampai
membebani peserta didik, seperti beban belajar yang terlalu berat. Beban
belajar di Indonesia saat ini mencapai 1.000-2.000 jam per tahun. Bahkan sekolah-sekolah
tertentu menerapkan jam belajar lebih lebih tinggi sehingga memberatkan siswa.
Beban jumlah jam pelajaran seperti itu terlalu berat, apalagi selain tatap muka
di kelas siswa harus mengikuti ekstrakurikuler dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Jika dijumlahkan jam yang dibebankan pada siswa justru membuat siswa tidak ada
waktu untuk istirahat. Beban belajar siswa di Indonesia kelebihan 20% jika
dibandingkan dengan beban belajar siswa di luar negeri yang beban belajar siswa
berkisar 800-900 jam per tahun. Oleh karena itu, kurikulum harus dirancang
dalam rangka lebih mengembangkan segala potensi yang ada pada peserta didik.
FUNGSI
PENGELOLAAN KURIKULUM
Dibawah ini adalah beberapa fungsi
tentang pengelolaan kurikulum antara lain(Kurniawan, 2013):
- Meningkatakan efisiensi pemanfaatan sumber daya
kurikulum.
- Meningkatakan keadilan pada siswa untuk mendapatkan
hasil yang optimum.
- Meningkatakan kesamaan pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar pendidik.
- Untuk meningkatkan keikut sertaan masyarakat dalam
membantu mengembangkan kurikulum.
PENGELOLAAN KURIKULUM
Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai saat
ini banyak mewarnai teori – teori dan praktik pendidikan ( Saylor Alexander
& Lewis, 1981).
Pengertian
kurikulum menurut Taylor dalam Nanang Fatah dan Aceng Muhtaram (1991) yaitu :
1)
Perangkat bahan ajar
2)
Rumusan hasil belajar yang dikehendaki
3)
Penyediaan kesempatan belajar
4)
Kewajiban peserta didik
Berdasarkan
pengertian diatas maka ada 2 aspek penting yang harus dipahami :
1)
Isi kurikulum
2)
Proses kurikulum
Unsur-unsur
pokok yang terkandung dalam kurikulum meliputi tujuan, materi, strategi
kegiatan pembelajaran, dan sistem evaluasi.
Kurikulum
dimaksudkan untuk dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang
dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.
B. Kegiatan-kegiatan pengelolaan
kurikulum
1.
Kegiatan yang berkaitan dengan tugas guru
a.
Pembagian tugas membelajarkan
b.
Pembagian tugas membina kegiatan ekstrakurikuler
2.
Kegiatan yang berkaitan dengan proses pelaksanaan pembelajaran
a.
Penyusunan jadwal pelajaran
b.
Penysunan program pelajaran
c.
Pengisian daftar kemajuan kelas
d.
Kegiatan mengelola kelas
e.
Penyelenggaraan evaluasi hasil belajar
f.
Laporan hasil belajar
g.
Kegiatan bimbingan dan penyuluhan
C. Bentuk pengorganisasian kurikulum
Ada
empat bentuk pengorganiasasian kurikulum yang bisa diterapkan di lembaga
pendidikan yaitu :
1.
Separated subject curriculum
Kurikulum
ini menyjikan segala bahan pelajaran dalam bernagai macam mata pelajaran yang
tepisah-pisah satu sama lain dan juga antara satu kelas dengan kelas yang lain.
2.
Correlated curriculum
Bentuk
ini menghendaki agar mata pelajaran satu sama lain ada hubungan walaupun
mungkin batas-batas yang satu ddengan yang lain masih dipertahankan. Korelasi
dapat dilakukan dengan berbagai macam cara :
1)
Antara dua mata pelajaran diadakan hubungan secara incidental
2)
Terdapat hubungan yang lebih erat apabila suatu pokok bahasan tertentu dibahas
dalam berbagai mata pelajaran
3)
Mempersatukan beberapa mata pelajaran dengan menghilangkan batas masing-masing
3.
Integrated curriculum
Integrated
curriculum meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan menyajikan
pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan. Semua ini dimaksudkan agar anak
dapat dibentuk menjadi pribadu yang integrated yakni manusia yang selaras
dengan lingjungan hidupnya.
4.
Core curriculum
Pada
prinsipnya core curriculum memberikan pelajaran yang umum.
D. Peran dan Fungsi Kurikulum
Sebagai
salah satu komponen dalam sistem pendidikan, kurikulum memiliki tiga peran,
yaitu peran konservatif, peran kreatif serta peran kritis dan evaluatif.
1.
Peran Konsevatif
Peran
Konservatif Kurikulum adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan
masa lalu. Dokaotkan dengan era globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing
menggerogoti budaya local, maka peran konservatif dalam kurikulum memiliki arti
ynag sangat penting. Melalui peran konservatif, kurikulum berperan dalam
menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai – nilai luhur masyarakat,
sehingga identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik.
2.
Peran Kreatif
Dalam
peran kreatif, kurikulum harus mengandung hal – hal baru sehingga dapat
membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar
dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senantiasa bergerak
maju secara dinamis.
3.
Peran Kritis dan Evaluatif
Kurikum
berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu dipertahankan, dan
nilai atau budaya baru yang mana yang harus dimiliki anak didik. Daam rangka
ini peran peran kritis dan evaluatif kurikulum diperlukan. Kurikulum harus
berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap
bermanfaat untuk kehidupan anak didik.
Sesuai
dengan peran yang harus dimainkan kurikulum sebagai alat dan pedoman
pendidikan, maka isi krikulum harus berjalan dengan tujuan pendidikan itu
sendiri. Menurut McNeil (1990) isi kurikulum memiliki empat fungsi, yaitu :
1)
Fungsi Pendidikan Umum
Fungsi
Pendidikan Umum yaitu fungsi kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik agar
mereka menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab sebagai warga negara
yang baik.
2)
Suplementasi
Setiap
peserta didik memiliki perbedaan, baik perbedaan minat, perbedaan kemampuan,
maupun perbedaan bakat. Dengan demikian setiap anak memiliki kesempatan untuk
menambah kemampuan dan wawasan yang lebih baik sesuai dangan minat dan
bakatnya.
3)
Eksplorasi
Fungsi
Eksplorasi memiliki makna bahwa kurikulum harus dapat menemukan dan
mengembangkan bakat minat masing – masing siswa. Namun proses eksplorasi minat
dan bakat siswa harus ada pemaksaan dari pihak luar, misalnya para orangtua
yang sebenarnya anak tidak memiliki bakat dan minat terhadap bidang tertentu
mereka dipaksa untuk memilihnya hanya karena alasan – alasan tertentu yang
sebenarnya tidak rasional.
4)
Keahlian
Kurikulum
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan anak sesuai ddengan keahlian yang
didasrkan atas minat dan bakat siswa. Dengan demikian, kurikulum harus
memberikan pilihan berbagai bidang keahlian misalnya perdagangan, pertanian,
industri atau disiplin akademik.
Bagi
guru kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Bagi kepala sekolah kurikulum berfungsi untuk menyusun perencanaan dan program
sekolah.Bagi pengawas, kurikulum akan berfungsi segai panduan dan melaksanakan
supervisi. Sedangkan bagi siswa itu sendiri kurikulum berfungsi sebagai pedoman
belajar.
Alexander
Inglis (dalam Hamalik, 1990) mengemukakan enam fungsi kurikulum untuk siswa:
a.
Fungsi penyesuaian, yaitu kurikulum harus dapat mengantarkan siswa agar mampu
menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial masyarakat.
b.
Fungsi integrasi, yaitu kurikulum harus dapat mengembangkan pribadi siswa
secara utuh.
c.
Fungsi diferensiasi, yaitu kurikulum harus dapat melayani siswa dengan segala
keunikannya.
d.
Fungsi persiapan, yaitu kurikulum harus dapat memberikan pengalaman belajar
bagi anak, baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
maupun untuk kehidupan di masyarakat.
e.
Fungsi pemilihan, yaitu kurikulum yang dapat memberikan kesempatan kepada
setiap siswa untuk belajar sesuai bakat dan minatnya.
f.
Fungsi Diagnostik, yaitu fungsi untuk mengenal berbagai kelemahan dan kekuatan
siswa.
E. Landasan Pengembangan Kurikulum
1.
Landasan Filosofis
Filsafat
berasal dari Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. Philos artinya
cinta yang mendalam dan sophia artinya kearifan atau kebijaksanaan. Filsafat
secara harfiyah diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara
popular Filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau
pendirian hidup bagi individu.
Ada
empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat
dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Kedua, filsafat dapat menentukan
isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai debgan tujuan yang ingin
dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan srategi atau cara penyampaian
tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolok
ukur keberhasilan proses pendidikan.
a. Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Hummel
(1977) mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan
tujuan pendidikan :
1)
Autonomy, artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang primakepada
setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam
kehidupan yang lebih baik.
2)
Equity, artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga
masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi.
3)
Survival, artinya pendidikan bukan saja harus menjamin terjadinya pewarisan dan
memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi harus memberikan
pemahaman akan saling ketergantungan antar manusia.
Menurut
Bloom (1965), tujuan pendidikan dapat digolongkan kedalam tiga klasifikasi atau
tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor. Domain
kognitif berhubungan dengan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Bidang
afektif berhubungan dengan pengembangan sikap dan bidang psikomotor berhubungan
dengan keterampilan.
b.
Filsafat sebagai Proses Berfikir
Filsafat
sering diartikan sebagai cara berfikir. Sidi Gazalba, mengemukakan ciri – ciri
berfikir filosofis sebagai berfikir yang radikal, sistematis dan universal.
Befikir radikal (radikal thinking), yaitu berfikir sampai ke akar – akarnya
sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berfikir sistematis adalah berfikir
logis yang bergerak selangkah dengan penuh kesadarandenagn urutan yang
bertanggungjawab dan saling berhubungan yang teratur. Berfikir universal,
artinya tidak berfikir secara khusus melainkan mencakup keseluruhan secara
sistematis dan logis sampai ke akar – akarnya. Orang yang berfilsafat yaitu
orang yang berfikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai
upaya mencari dan menemukan kebenaran.
Menurut
Nasution (1989), ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealisme,
relisme, pragmatisme,dan eksistensialisme. Idealisme, memandang bahwa kebenaran
itu datang dari Yang Maha Kuasa.Manusia tidak perlu meragukan kebenarannya
selain harus mematuhinya. Aliran Realisme memandang bahwa manusia pada dasarnya
dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hukum – hukum universal, hanya
saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan
kemampuannya. Aliran progmatisme berpendapat bahwa kenyatan itu pada hakikatnya
berada pada hubungan sosial antara manusia dengan manusia lainnya. Aliran
Eksistensialis mengakui bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki
kelemahan – kelemahan.
2. Landasan Psikologis
a.
Psikologi Perkembangan Anak
Untuk
memahami perkembangan siswa, Piaget mengemukakan teori perkembangan kognitif
(intelektual). Kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang
mengarahkaan dan membimbing perilaku anak. Tahapan perkembangannya yaitu:
1.
Sensorimotor,yang berkembang dari mulai lahir sampai 2 tahun.
2.
Praoperasional, mulai dari 2 sampai 7 tahun.
3.
Operasional konkret, 7 sampai 11 tahun.
4.
Operasional formal dimulai dari 11 sampai 14 tahun ke atas.
b.
Psikologi Belajar
Menurut
aliran Behavioristik, Belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi
antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak
atau hubungan antara stimulus dan respon. Karena itu teori ini dinamakan teori
Stimulus – Respons.
3.
Landasan Sosiologis – Teknologis
a.
Kekuatan Sosial yang Dapat Mempengaruhi Kurikulum.
b.
Kemajuam IPTEK sebagai Bahan Pertimbangan Penyusunan Kurikulum.
1)
Perubahan Pola Hidup
2)
Perubahan Kehidupan Sosial Politik
REFERENSI
Adiwikarta,S,
1994. Kurikulum yang Berorientasi pada Kekinian, Kurikulum untuk Abad 21,
Jakarta : Grasindo.
Kusnandar. 2007. Guru
Profisional. Jakarta : PT Raja Grafindo.