SAJAK UNTUK NONA MANIS

Tuesday, April 22, 2014

LANDASAN DAN PROBLEMATIKA KEPENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum. Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.

Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.
Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula menyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.
Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.
Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.
B. Pengertian Kurikulum
Dalam banyak literature, kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan “Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas”.
Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini:
filosofi kurikulum
ruang lingkup komponen kurikulum
polarisasi kurikulum – kegiatan belajar
posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum
Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai “subject matter”, “content” atau bahkan “transfer of culture”. Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai “transfer of culture” adalah dalam pengertian kelompok ahli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi “cultivation of the rational powers: academic excellence” sedangkanessentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan “academic excellence dan cultivation of intellect”. Perbedaan antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism “the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only through permanent studies that constitute our intellectual inheritance”. Permanent studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialismberanggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan “modern needs through the fundamental academic disciplines of English, mathematics, science, history, and modern languages” (Tanner dan Tanner, 1980:109).
Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah “statement of objectives” (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan tertentu” (pasal 1 ayat 19).
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak akhli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok akhli kurikulum dengan akhli teaching (pangajaran). Baik akhli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan.
C. Posisi Kurikulum dalam Pendidikan
Dalam usaha pencapaian tujuan pendidikan, peran kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah sangatlah strategis. Bahkan kurikulum memiliki kedudukan dan posisi yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan, serta kurikulum merupakan syarat mutlak dan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri, karena peran kurikulum sangat penting maka, menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dala proses pendidikan.
Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Bagi kepala sekolah dan pengawas berfungsi sebagai pedoman supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan. Sedangkan bagi siswa kurikulum sebagai pedoman pelajaran.
Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan tersebut harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian tersebut memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan “academic accountability” dan “legal accountability” berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian “intrinsic” kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan. Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah “construct” yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Posisi kedua adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat 2).
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang “penting”. Alokasi waktu ini adalah “construct” para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan “construct” yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
D. Proses Pengembangan Suatu Kurikulum
Dalam perjalanannya dunia Pendidikan Indonesia telah menerapkan enam kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 atau  Kurikulum Berbasis Kompetensi (meski belum sempat disahkan pemerintah, tetapi sempat berlaku di beberapa sekolah piloting project), dan terakhir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikeluarkan pemerintah melalui Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Nomor 23 tentang Standar Komnpetensi Lulusan, dan Permen Nomor 24 tentang Pelaksanaan kedua Permen tersebut. Ada rumor yang berkembang dalam masyarakat bahwa ada kesan “Ganti Menteri Pendidikan Ganti Kurikulum.” Kesan itu bisa benar bisa tidak, tergantung dari sudut mana kita memandang. Kalau sudut pandangnya politis, maka pergantian sistem pendidikan nasional, termasuk di dalamnya perubahan kurikulum akan selalu dikaitkan dengan kekuasaan (siapa yang berkuasa).
Namun, kalau sudut pandangnya nonpolitis, pergantian kurikulum merupakan suatu hal yang biasa dan suatu keniscayaan dalam rangka merespons perkembangan masyarakat yang beitu cepat. Pendidikan harus mampu menyesuaikan dinamika yang berkembang dalam masyarakat, terutama tuntutan dan kebutuh masyarakat. Dan itu bisa dijawab dengan perubahan kurikulum. Seorang guru yang nantinya akan melaksanakan kurikulum di kelas melalui proses belajar mengajar, dipandang perlu mengetahui dan memahami kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia. Dengan demikian, para guru dapat mengambil bagian yang terbaik dari kurikulum yang berlaku di Indonesia untuk diimplementasikan dalam menjalankan proses belajar mengajar.
1. Kurikulum 1968
Sebelum diterapkan kurikulum 1968, pada tahun 1947 pernah diterapkan Rencana Pelajaran yang pada waktu itu menteri pendidikannya dijabat Mr. Suwandi. Rencana Pelajaran 1947 memuat ketentuan sebagai berikut: (l) bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah; (2) jumlah mata pelajaran untuk Sekolah Rakyat (SR) 16 bidang studi, SMP 17 bidang studi, SMA jurusan B 19 bidang studi. Lahirnya Rencana Pelajaran 1947 diawali dari pembenahan sistem per sekolah pasca Indonesia merdeka yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, pembenahan ini baru bisa diterapkan pada tahun 1965 melalui keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.
Setelah berakhirnya kekuasaan orde lama, keluar Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/I966 yang berisi tujuan pendidikan membentuk manusia Pancasilais sejati. Dua tahun kemudian lahirlah Kurikulum 1968, sebuah pedoman praksis pendidikan yang terstruktur pertama kali (Cony Semiawan, 19B0). Tujuan pendidikan menurut Kurikulum 1968 adalah mempertinggi mental-moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Ketentuan-ketentuan dalam kurikulum 1968 adalah: (1) bersifat: correlated subject currikulum; (2) jumlah mata pelajaran untuk SD 10 bidang studi, SMP 18 bidang studi (Bahasa Indonesia dibedakan bahasa Indonesia I dan II, SMA jurusan A 18 bidang studi, SMA jurusan B 20 bidang studi, jurusan SMA C 19 bidang studi; (3) penjurusan SMA dilakukan di kelas II. Pada waktu diberlakukan Kurikulum I968 yang mejabat menteri pendidikan adalah Mashuri. S.H.
2. Kurikulum 1975
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat Letjen TNI Dr. Syarif Thajeb (1973-1978). Ketentuan-ketentuan Kurikulum 1975 adalah: (1) Sifat: integrated curriculum organization; (2) SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9 bidang studi; (3) pelajaran Ilmu Alam dan llmu Hayat menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA); (4) pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi Matematika; (5) jumlah mata pelajaran SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi; (6) penjurusan SMA dibagi tiga IPA, IPS dan Bahasa dimulai pada permulaan semester II kelas 1. Ketika belum semua sekolah mengimplementasikan Kurikulum 1975, mulai dirasakan kurikulum ini tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Maka kurikulum 1975 diganti oleh Kurikulum 1984.
3. Kurikulum 1984
Kurikulum ini diterapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto seorang ahli sejarah Indoesia. Ketentuan-ketentuan dalam Kurikulum 1984 adalah: (1) Sifat: Content Based Curnculum; (2) Program pelajaran mencakup 11 bidang studi; (3) Jumlah mata pelajaran SMP menjadi 12 bidang studi; (4) Jumlah mata pelajaran SMA 15 bidang studi untuk program inti, 4 bidang studi untuk program pilihan; (5) Penjuusan SMA dibagi lima: program A1 (Ilmu Fisika), A2 (Ilmu Biologi), A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya, dan A5 (Ilmu Agama); (6) Penjurusan dilakukan di kelas II. Pada Kurikulum 1984 penambahan bidang studi, yakni Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Hal ini bisa dimaklumi karena menteri pendidikan saat itu dijabat oleh seorang sejarawan. Dalam perjalanannya, Kurikulum 1984 dianggap oleh banyak kalangan dianggap sarat beban sehingga diganti dengan Kurikulum 1994 yang lebih sederhana.
4. Kurikulum 1994
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof Dr. Ing Wardiman Djojonegoro seorang teknokrat yang menimba ilmu di Jerman Barat bersama BJ. Habibie. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum 1994 adalah: (l) bersifat: Objective Based Curriculum: (2) nama SMP diganti mejadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum); (3) mata pelajaran PSPB dihapus; (4) program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran; (5) Program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata pelajaran; (6) Penjurusan SMA dilakukan di kelas II yang
dari program IPA, program IPS, dan program Bahasa. Ketika reformasi bergulir tahun 1998, Kurikulum 1994 mengalami penyesuaian-penyesuaian dalam rangka mengakomodasi tuntutan reformasi. Oleh karena itu, muncul suplemen Kurikulurn 1994 yang lahir tahun 1999. Dalam suplemen tersebut ada penyesuaian-penyesuaian materi pelajaran, terutama mata pelajaran seperti PPKN, Sejarah, dan beberapa mata pelajaran yang lainnya. Lagi-lagi kurikulum ini pun mengalami nasib yang sama dengan kurikulum sebelumnya. Bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, pemerinrah melalui Departemen pendidikan Nasional menggagas kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
5. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kurikulum 2004)
Kurikulum Berbasis Kompetensi lahir di tengah-tengah adanya tuntutan  mutu pendidikan di Indonesia. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa mutu pendidikan Indonesia semakin hari semakin terpuruk. Bahkan dengan negara tetangga pun yang dulu belajar ke Indonesia, seperti Malaysia, Indonesia tertinggal dalam hal mutu pendidikan. Pendidikan di Indonesia dianggap hanya melahirkan lulusan yang akan menjadi beban negara dan masyarakat, karena kurang ditunjang dengan kompetensi yang memadau ketika terjun dalam masyarakat. Untuk merespons hal tersebut pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional menawarkan kurikulum yang dianggap mampu menjawab problematika seputar rendahnya mutu pendidikan dewasa ini. Karena dalam Kurikulum Berbasis Komperensi peserta didik diarahkan untuk menguasai sejumlah kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditentukan (Kunandar, 2005).
Kurikulum Berbasis Komperensi digagas ketika Menteri Pendidikan dijabat oleh Prof. Abdul Malik Fadjar, M.Sc. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah: (1) bersifat: Competency Based Curriculum: (2) penyebutan SLTP menjadi SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMU menjadi SMA 9Sekolah Menengah Atas); (3) program pengajaran SD disusun 7 mata pelajaran; (4) program pengajaran SMP disusun dalam 11 mata pelajaran; (5) program pengajaran SMA disusun dalam 17 mata pelajaran; (6) penjurusan SMA dilakukan di kelas II, terdiri atas Ilmu Alam, Sosial, dan Bahasa (Kompas, 16 Agustus 2005)
Kurikulum Berbasis Kompetensi meskipun sudah diujicobakan di beberapa sekolah melalur pilot project, tetapi ironisnya pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional belum mengesahkan kurikulum ini secara formal. Sepertinya pemerintah masih ragu-ragu dengan kurikulum ini. Hal ini dimaklumi, karena uji coba kurikulum ini menuai kritik dari berbagai kalangan, baik para ahli pendidikan maupun praktisi pendidikan. Beberapa kritik terhadap kurikulum ini adalah: (1) Masih sarat dengan materi sehingga ketakutan guru akan dikejar-kejar materi seperti yang terjadi pada kurikulum 1994 akan terulang kembali; (2) pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional masih terlalu intervensi terhadap kewenangan sekolah dan guru untuk mengembangkan kurikulum tersebut; (3) masih belum jelasnya (bias) pengertian kompetensi sehingga ketika diteraplkan pada standar, kompetensi kelulusan belum terlalu aplikatif; (4) adanya sistem penilaian yang belum begitu jelas dan terukur.
Melalui kebijakan pemerintah, kurikulum berbasis kompetensi mengalami revisi, dengan dikeluarkannya Permen Diknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Permen Diknas Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen Diknas Nomor 24 tentang Pelaksanaan kedua permen di atas. Ketiga permen tersebut dikeluarkan pada tahun 2006. Dengan dikeluarkannya ketiga permen tersebut seakan menjawab ketidakjelasan nasib KBK yung selama ini sudah diterapkan di beberapa sekolah, baik melalui pitot project atau swadaya dari sekolah tersebut. Keterandan dan keunggulan kurikulum ini pun masih perlu diuji di lapangan dan waktu yang nanti akan menjawabnya.
6. Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP)
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi atau ada yang menyebut Kurikulum 2004. KTSP lahir karena dianggap KBK masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam mengembangan kurikulum. OIeh karena itu, dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberikan kewenangan untuk mengembangan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen kurikulum lainnya.
7. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
a. Prinsip Relevansi
Dalam Oxford Advanced Dictionary of Current English,kata relevansi atau relevan mempunyai arti (closely)connected with what is bappening, yakni kedekatan hubungan dengan apa yang terjadi.Apabila dikaitkan dengan pendidikan, berati perlunya kesesuaian antara (program)pendidikan dengan tuntunan kehidupan masyarakat(the needs of society). Pendidikan dikatakan relevan bila hasil yang diperoleh akan berguna bagi kehidupan seseorang.
Menurut Soetopo dan Soemanto ia mengungkapkan relevansi sebagai  berikut :
Relevansi pendidikan dengan lingkungan anak didik.relevansi ini memiliki arti bahwa dalam pengembangan kurikulum,termasuk dalam menentukan bahan pengajaran(subject mattrs),hendaknya disesuaikan dengan kehidupan nyata anak didik.sebagai contoh sekolah yang berada diperkotaan, anak didinya ditawarkan halyang aktual,seperti polusi pabrik,arus perdagangan yang ramai, kematan lalu lintas,dan lain-lain. Atausebaliknya anak-anak yang berada dipedesaan ditawarkan hal-hal yang relevan,misalnya memperkenalkan pertanian kepada anak didik,karena daerah tersebut merrupakandaerah pedesaan yang subur akan pertanian.
Relevansi pendidikan dengan kehidupan yang akan datang. Materi atau bahan yang akan diajarkan kepada anak didik hendaklah memberi manfaat untuk persipan masa depan anak didik.Karenanya keberadaan kurikulum disini bersifat antisipasi dan memiliki nilai prediksi secara tajam dan perhitungan.
Relevansi pendidikan dengan dunia kerja.Semua orang tua mengharapkan anaknya dapat bekerja sesuai dengan pengalaman pendidikan yang dimilikinya .Begitu juga  halnya dengan anak didik,ia berharapn agar dapat mandiri dan memiliki sumber daya ekonomi yang pantas dengan modal ilmu pengetahuannya.karenanya kurikulum dan proses pendidikan tersebut sedapat mungkin dapat diorientasikan kedunia kerja,tentunya menurut jenis pendidikan, sehingga nantinya pengetahuan teoritik dari bangku sekolah dapat diaplikasikandengan baik dalam dunia kerja.
Relevansi pendidikan dengan ilmu pengetahuan.Kemajuan ilmu pendidikan juga membuat maju ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak negara tadinya miskin sekarang menjadi kaya.contohnya Jepang,korea Selatan,Singapura,dan lain-lain.semua ini berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapakan kurikulum dapat memberikan peluang pada anak didik untuk mengembangkan ilmu pengetahuandan teknologi,selalu mengembangkanya dan tidak cepat puas.
b. Prinsip Efektivitas
Prinsip efektivitas yang dimaksudkan adalah sejauh mana perencanaan kurikulum dapat dicapai sesuai dengan keinginan yang telah ditentukan. Dalam proses pendidikan, efektivitasnya dapat dilihat dari sisi,yakni :
Efektivitas mengajar pendidik berkaitan dengan sejauh mana kegiatan belajar mengajar yang telah direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik.
Efektivitas belajar anak didik,berkaitan dengan sejauh mana tujuan-tujuan pelajaran yang diinginkan telah dicapai melalui kegiatan belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
c. Prinsip Efisensi
Prinsip efisiensi sering dikonotasikan dengan prinsip ekonomi,yang berbunyi : modal atau biaya, tenaga dan waktu yang sekcil-kecilnya akan dicapai hasil yang memuaskan.efesiensi proses belajar mengajar akan tercipta, apabila usaha,biaya,waktu,dan tenaga yang digunakan untuk menyelesaikan program pengajaran tersebtu sangat optimal dan hasilnya bisa seoptimalmungkin, tentunya dengan pertimbangan yang rasional dan wajar.
d. Prinsip Kesinambungan
Prinsip kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menunjukan adanya saling terkait antara tingkat pendidikan, jenis program pendidikan, dan bidang studi.
Kesinambungan di antara berbagai tingkat sekolah :
Kesinambungan diantara berbagai bidang studi ;
Bahan pelajaran yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi hendaknya sudah diajarkan pada tingkat pendidikan sebelumnya atau dibawahnya.
Bahan pelajaran yang telah diajarkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah tidak harus diajarkan lagi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi,sehingga tertinggal dari tumpang tindih dalam pengaturan bahan dalam proses belajar mengajar.
Kesinambungan di antara berbagai biodang studi menujukan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan hubungan antara bidang studi yang satu dengan lain yang lainya. Misalnya untuk mengubah angka temperatur dari skala celsius ke skala Fahreheit dalam IPA diperlukan ketrampilan dalam pengalian pecahan.
e. Prinsip Fleksibilitas (Keluwesan)
Fleksibilitas berarti tidak kaku, dan ada semacam ruang gerak yang memberikan kebebasan dalam bertindak. Didalam kurikulum,fleksibilitas dapat dibagi menjadi dua macam yakni :
Fleksibel dalam memilih program pendidikan
Fleksibelitas dalam pengembangan program pengajaran.maksudnya adalah dalam bentuk memberikan  kesempatan kepada para pendidik dalam mengembangaklan sendiori program-program pengajaran dengan berpatok pada tujuan dan bahan pengajaran diidalam kurikulum yang masih bersifat umum.
f. Prinsip Berorientasi tujuan
Prinsip berorientasi tujuan berarti bahwa sebelum bahan ditentukan, langkah yang perlu dilakukan oleh seorang pendidik adalah menentukan tujuan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agra semua jam dan aktivitasd pengajaran yang dilaksanakan oleh pendidik maupun anak didik dapat betul-betul terarahkepada tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
g. Prinsip dan Model Pengembangan Kurikulum
Prinsip ini memiliki maksud bahwa harus ada pengembangan kurikulum secara bertahap dan terus menerus,yakni dengan cara memperbaiki, memantapakan  dan mengembangakan lebih lanjut kurikulum yang sudah berjalan setelah ada pelaksanaan dan sudah diketahui asilnya.
8. Pendekatan Pengembangan Kurikulum
Para pengembang (developers) telah menemukan beberapa pendekatan dalam pengembangan kurikulum. Yang dimaksudkan pendekatan adalah cara kerja dengan menerapkan straegi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistimatis agar memperoleh kurikulum yang lebih baik.Pendekatan-pendekatan yang dikembangkan para pengembang adalah :
Pendekatan Bidang Studi (Pendekatan Subjek atau Disiplin Ilmu
Pendekatan ini menggunkan bidang studi atau matapelajaran sebagai dasar organisasi kurikulum, misalnya matematika ,sains,sejarah,IPA,dan lainya.
Pengembangandimulai dengan mengidentifikasi secara teliti pokok-pokok bahasan yang akan dibahas,kemudian poko-pokok bahasan tersebut diperinci menjadi bahan-bahan pelajaran yang harus dikuasai,dan akhirnya mengidentifikasi dan mengurutkan pengalaman belajar fdan ketrampilan –ketrampilan yang harus dilakukan anak didik.
Pendekatan berorentasi pada tujuan
Pendekatan yang berorentasi tujuan ini menempatkan rumusan atau penempatan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Tujuan matematioka misalnya sama dengan konsep dasar dan disiplinilmu matematika . Prioritas pendekatan ini adalah penalaran Pengewtahuan.
Kelebihan pendekatan pengembangan kurikulum yang berorientasi pada tujuan adalah ;
Tujuan yang ingin dicapai jelas bagi penyusun kurikulum.
Tujuan yang jelas akan meberikan arahan yang jelas pula didalam menerapkan materi pelajaran,metode,jenis kegiatan,dan alat yang dipergunakan unbtuk mencapai tujuan.
Hasil penilaian yang terarah
E. Prinsip dan Peranan Kurikulum
Kurikulum merupakan suatu system yang memiliki komponen-komponen tertentu sisitem kurikulum terbentuk oleh  5 komponen, yaitu komponen tujuan, isi kurikulum (materi), metode atau kegiatan belajar, sumber belajar yang terdiri dari alat, bahan, serta komponen penilaian ( evaluasi ). Jika kita menilik dari berbagai jenis kurikulum yang telah diterapkan, maka secara garis besar bahwa ke lima komponen yang tersebut diatas pada dasarnya sudah ada disetiap kurikulum yang pernah diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun yang menjadi masalah adalah karena kurikulum tersebut yang bersifat fleksibel, maka pemberlakuan isi kurikulum tersebut memang disesuaikan dengan waktu dan situasi tertentu sesuai dengan tuntutan zaman. Perubahan isi kurikulum inilah yang menjadi masalah, mengingat pemberlakuannya cukup sulit untuk dapat diterapkan serentak secara nasional. Akibatnya hanya wilayah-wilayah tertentu saja yang dapat mengikuti perkembangan kurikulum tersebut, sementara wilayah lain boleh jadi tidak mengenal kurikulum yang sedang diberlakukan, dan tiba-tiba saja sudah ganti kurikulum yang baru.
Secara umum ada beberapa pendekatan perkembangan kurikulum yang pernah diterapkan dalam pengembangan kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendekatan tersebut antara lain :
Dari awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1960-an  pendekatan berbasis materi (content based approach)
Akhir tahun 1960 –an sampai dengan pertengahan tahun1980-an pendekatan berbasis kompetensi (competence based approach) dan pendekatan belajar tuntas (mastery learning approach)
Akhir tahun 1980-an sampai dengan awal 1990-an pendekatan berbasis out come (outcome based approach)
tengah tahun1990-an sampai dengan sekarang pendekatan berbasis standar (standard based approach)
Melihat beberapa pendekatan yang telah dilakukan dalam rangka pembenahan kurikulum tersebut dapat ditarik benang merah bahwa penerapan kurikulum hanyalah perubahan disain isi kurikulum tersebut. Dan inilah masalah yang timbul ketika kita akan menerapkan kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan zaman.
F. Asas-asas Kurikulum
Dalam perkembangan kurikulum, banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum mengambil suatu keputusan. Apapun jenis kurikulumnya pasti memerlukan asas-asas yang harus dipegang, asas-asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang memiliki hal-hal yang bertentangan, karena harus memerlukan seleks. Perkembangan kurikulum pada suatu negara, baik di negara-negara berkembang,negara terbelakang dan negara-negara maju,bisa dipastikan mempunyai perbedaan-perbedaan yang mungkin mendasar,tetapi tetap ada persamaan.
Falsafah yang berlainan,bersifatotoriter,demokratis,sekuler,atau religius, akan memberi warna yang berbeda dengan kurikulum yang dimiliki oleh bangsa bersangkutan. Begitu juga apabila dilihat dari masyarakat,organisasi bahan yang digunakan, dan pilihan psikologi belajar dalam mengembangkan kurikulum tersebut. Lebih lanjut akan diureaikan empat asas perkembangan kurikulum tersebut.
1. Asas Filosofi
Falsafah dalam arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran yang merupakan rangkaian dua pengertian, yakni philein (cinta) dan shopia(kebijakan). Dalam batasan modern, filsafat diartikan sebagi ilmu yang berusaha memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia,yang berharap agar manusia dapat mengertidan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia didalamnya. Intinya manusia merupakan bagian dari dunia.(Bernadid,1944  11).
2. Asas Sosiologis
Asas sosiologis mempunyai peranan penting dalam mengembangkan kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa dimuka bumi ini.Suatu kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan,cita-citatertentu dan kebutuhan mayarakat. Karena itu,sudah sewajarnya kalau pendidikan memerlukan aspirasimasyarakat.dan pendidikan mesti memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio-politik-ekonomiyang dominan. Berbagai kesukaran juga akan muncul apabila kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, seperti militer, politik, agama, swasta, dan lain-lain, mengajukan keinginanyang bertentangan dengan kepentingan kelompok masing-masing.
Dari sudut pandang sosiologis,dalam sisitem pendidikan serta lembaga –lembaga pendidikan terdapat bahan yang memiliki beragam fungsi bagi kepentingan mayarakat yakni :
Mengadakan revisi dan perubahan sosial
Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan melaksanakan penelitian ilmiah
Mendukung dan turut memberi kontribusi kepada pembangunan
Menyampaikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional serta mempertahankan status quo
Banyak lagi aspek lain yang turut memberi pengaruh mengenai apa yang harus dimasukan kedalam kurikulum, yakni yang menjadi kebutuhan masyarakat.antara lain
Interaksi yang kompleks antara kekuatan–kekuatran sosial, politik, ekonomi, militer, industri, kultur masyarakat
Berbagai kekuatan dominan,sebagaiman diungkapkan diatas
Pribadi pimpinandan tokoh yang memegang kekuasaan formal
Menganalisis masyarakat dimana sekolah berada
Menganalisis syarat dan tuntutan terhadap individu dalam ruang lingkup kepentingan masyarakat
Dalam mengambil keputusan mengenai kurikulum, para pengembang mesti merujuk pada lingkungan atau dunia dimana mereka tinggal,merespon berbagai kebutuhan yang dilontarkan atau diusulkanoleh beragam golongan dalam masyarakat.
3. Asas Psikologis
Konstribusi psikologis terhadap studi kurikulum memiliki dua bentuk, yaitu : (1) Model konseptual dan informasiyang akan membangun perencanaan pendidikan; (2) Berisikan berbagai metode yang diadaptasi untuk penelitian pendidikan. Dalam memilih pengalaman belajar yang akurat, psikologi secara umum sangat membantu. Teori-teori belajar,teori kognitif,pengembangan emosional,dinamika group,perbedaan kemampuan individu,kepribadian model formasi sikap dan perubahan dan mengetahui motivasi,semuanya sangat relevan dalam merencanakan pengalaman-pengalaman.
4. Asas Organisator
Peranan asas organisator dalam pengembangan kurikulum adalah mengorganisasikan bahan bagi keperluan pengajaran,salah satu caranya adalah dengan mengorganisasikan bahan berdasarkan topik, tema, kronogi, isu, logika, proses disiplin.
Sebagai konklusi dari uraian asa organisator tersebut ada 3 hal utama yang perlu diperhatikan yakni :
Tujuan bahan pelajaran
Mengajarkan ketrampilan untuk masa sekarang atau mengajarkan ketrampilan untuk masa depan,untuk membantu sisiwa dalam memecahkan masalah,untuk mengembangkan nilai-nilai, untuk mengembangkan ciri ilmiah, untuk memupuk jiwa warga negara yang baik
Sasaran bahan Pelajaran
Siapkah pelajar itu,apakah latar belakang pendidikan dan pengalamannya,sampai dimana tingkat perkembangannya, bagaimana profil kepribadianya
Pengorganisasian bahan
Bagaimana bahan pelajaran diorganisasi: apakah berdasarkan topik,konsep,kronologi,dan lain-lain.
G. Penutup
Salah satu variabel yang memengaruhi sistem pendidikan nasional  adalah kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum harus dapat mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat. Kurikulum harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat luas dalam menghadapi persoalan kehidupan yang dihadapi. Sudah sepatutnya kalau kurikulum itu terus diperbaharui seiring dengan realitas, perubahan, dan tantangan dunia pendidikan dalam membekali peserta didik menjadi manusia yang siap hidup dalam berbagai keadaan. Kurikulum harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan keberagaman keperluan dan kemajuan teknologi
Kurikulum jangan sampai membebani peserta didik, seperti beban belajar yang terlalu berat. Beban belajar di Indonesia saat ini mencapai 1.000-2.000 jam per tahun. Bahkan sekolah-sekolah tertentu menerapkan jam belajar lebih lebih tinggi sehingga memberatkan siswa. Beban jumlah jam pelajaran seperti itu terlalu berat, apalagi selain tatap muka di kelas siswa harus mengikuti ekstrakurikuler dan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika dijumlahkan jam yang dibebankan pada siswa justru membuat siswa tidak ada waktu untuk istirahat. Beban belajar siswa di Indonesia kelebihan 20% jika dibandingkan dengan beban belajar siswa di luar negeri yang beban belajar siswa berkisar 800-900 jam per tahun. Oleh karena itu, kurikulum harus dirancang dalam rangka lebih mengembangkan segala potensi yang ada pada peserta didik.
FUNGSI PENGELOLAAN KURIKULUM
Dibawah ini adalah beberapa fungsi tentang pengelolaan kurikulum antara lain(Kurniawan, 2013):
  1. Meningkatakan efisiensi pemanfaatan sumber daya kurikulum.
  2. Meningkatakan keadilan pada siswa untuk mendapatkan hasil yang optimum.
  3. Meningkatakan kesamaan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan sekitar pendidik.
  4. Untuk meningkatkan keikut sertaan masyarakat dalam membantu mengembangkan kurikulum.
PENGELOLAAN KURIKULUM
Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori – teori dan praktik pendidikan ( Saylor Alexander & Lewis, 1981).
Pengertian kurikulum menurut Taylor dalam Nanang Fatah dan Aceng Muhtaram (1991) yaitu :

1) Perangkat bahan ajar

2) Rumusan hasil belajar yang dikehendaki

3) Penyediaan kesempatan belajar

4) Kewajiban peserta didik

Berdasarkan pengertian diatas maka ada 2 aspek penting yang harus dipahami :

1) Isi kurikulum

2) Proses kurikulum

Unsur-unsur pokok yang terkandung dalam kurikulum meliputi tujuan, materi, strategi kegiatan pembelajaran, dan sistem evaluasi.

Kurikulum dimaksudkan untuk dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.

B. Kegiatan-kegiatan pengelolaan kurikulum

1. Kegiatan yang berkaitan dengan tugas guru

a. Pembagian tugas membelajarkan

b. Pembagian tugas membina kegiatan ekstrakurikuler

2. Kegiatan yang berkaitan dengan proses pelaksanaan pembelajaran

a. Penyusunan jadwal pelajaran

b. Penysunan program pelajaran

c. Pengisian daftar kemajuan kelas

d. Kegiatan mengelola kelas

e. Penyelenggaraan evaluasi hasil belajar

f. Laporan hasil belajar

g. Kegiatan bimbingan dan penyuluhan


C. Bentuk pengorganisasian kurikulum

Ada empat bentuk pengorganiasasian kurikulum yang bisa diterapkan di lembaga pendidikan yaitu :

1. Separated subject curriculum

Kurikulum ini menyjikan segala bahan pelajaran dalam bernagai macam mata pelajaran yang tepisah-pisah satu sama lain dan juga antara satu kelas dengan kelas yang lain.

2. Correlated curriculum

Bentuk ini menghendaki agar mata pelajaran satu sama lain ada hubungan walaupun mungkin batas-batas yang satu ddengan yang lain masih dipertahankan. Korelasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara :


1) Antara dua mata pelajaran diadakan hubungan secara incidental

2) Terdapat hubungan yang lebih erat apabila suatu pokok bahasan tertentu dibahas dalam berbagai mata pelajaran

3) Mempersatukan beberapa mata pelajaran dengan menghilangkan batas masing-masing

3. Integrated curriculum

Integrated curriculum meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan menyajikan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan. Semua ini dimaksudkan agar anak dapat dibentuk menjadi pribadu yang integrated yakni manusia yang selaras dengan lingjungan hidupnya.

4. Core curriculum

Pada prinsipnya core curriculum memberikan pelajaran yang umum.

D. Peran dan Fungsi Kurikulum

Sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan, kurikulum memiliki tiga peran, yaitu peran konservatif, peran kreatif serta peran kritis dan evaluatif.

1. Peran Konsevatif

Peran Konservatif Kurikulum adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Dokaotkan dengan era globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti budaya local, maka peran konservatif dalam kurikulum memiliki arti ynag sangat penting. Melalui peran konservatif, kurikulum berperan dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai – nilai luhur masyarakat, sehingga identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik.

2. Peran Kreatif

Dalam peran kreatif, kurikulum harus mengandung hal – hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senantiasa bergerak maju secara dinamis.


3. Peran Kritis dan Evaluatif

Kurikum berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu dipertahankan, dan nilai atau budaya baru yang mana yang harus dimiliki anak didik. Daam rangka ini peran peran kritis dan evaluatif kurikulum diperlukan. Kurikulum harus berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan anak didik.


Sesuai dengan peran yang harus dimainkan kurikulum sebagai alat dan pedoman pendidikan, maka isi krikulum harus berjalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Menurut McNeil (1990) isi kurikulum memiliki empat fungsi, yaitu :

1) Fungsi Pendidikan Umum

Fungsi Pendidikan Umum yaitu fungsi kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik agar mereka menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab sebagai warga negara yang baik.

2) Suplementasi

Setiap peserta didik memiliki perbedaan, baik perbedaan minat, perbedaan kemampuan, maupun perbedaan bakat. Dengan demikian setiap anak memiliki kesempatan untuk menambah kemampuan dan wawasan yang lebih baik sesuai dangan minat dan bakatnya.

3) Eksplorasi

Fungsi Eksplorasi memiliki makna bahwa kurikulum harus dapat menemukan dan mengembangkan bakat minat masing – masing siswa. Namun proses eksplorasi minat dan bakat siswa harus ada pemaksaan dari pihak luar, misalnya para orangtua yang sebenarnya anak tidak memiliki bakat dan minat terhadap bidang tertentu mereka dipaksa untuk memilihnya hanya karena alasan – alasan tertentu yang sebenarnya tidak rasional.

4) Keahlian

Kurikulum berfungsi untuk mengembangkan kemampuan anak sesuai ddengan keahlian yang didasrkan atas minat dan bakat siswa. Dengan demikian, kurikulum harus memberikan pilihan berbagai bidang keahlian misalnya perdagangan, pertanian, industri atau disiplin akademik.

Bagi guru kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Bagi kepala sekolah kurikulum berfungsi untuk menyusun perencanaan dan program sekolah.Bagi pengawas, kurikulum akan berfungsi segai panduan dan melaksanakan supervisi. Sedangkan bagi siswa itu sendiri kurikulum berfungsi sebagai pedoman belajar.

Alexander Inglis (dalam Hamalik, 1990) mengemukakan enam fungsi kurikulum untuk siswa:

a. Fungsi penyesuaian, yaitu kurikulum harus dapat mengantarkan siswa agar mampu menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial masyarakat.

b. Fungsi integrasi, yaitu kurikulum harus dapat mengembangkan pribadi siswa secara utuh.

c. Fungsi diferensiasi, yaitu kurikulum harus dapat melayani siswa dengan segala keunikannya.

d. Fungsi persiapan, yaitu kurikulum harus dapat memberikan pengalaman belajar bagi anak, baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maupun untuk kehidupan di masyarakat.

e. Fungsi pemilihan, yaitu kurikulum yang dapat memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk belajar sesuai bakat dan minatnya.

f. Fungsi Diagnostik, yaitu fungsi untuk mengenal berbagai kelemahan dan kekuatan siswa.


E. Landasan Pengembangan Kurikulum

1. Landasan Filosofis

Filsafat berasal dari Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “sophia”. Philos artinya cinta yang mendalam dan sophia artinya kearifan atau kebijaksanaan. Filsafat secara harfiyah diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara popular Filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu.

Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai debgan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan srategi atau cara penyampaian tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolok ukur keberhasilan proses pendidikan.


a. Filsafat dan Tujuan Pendidikan

Hummel (1977) mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan :

1) Autonomy, artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang primakepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.

2) Equity, artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi.

3) Survival, artinya pendidikan bukan saja harus menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi harus memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antar manusia.


Menurut Bloom (1965), tujuan pendidikan dapat digolongkan kedalam tiga klasifikasi atau tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor. Domain kognitif berhubungan dengan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Bidang afektif berhubungan dengan pengembangan sikap dan bidang psikomotor berhubungan dengan keterampilan.



b. Filsafat sebagai Proses Berfikir

Filsafat sering diartikan sebagai cara berfikir. Sidi Gazalba, mengemukakan ciri – ciri berfikir filosofis sebagai berfikir yang radikal, sistematis dan universal. Befikir radikal (radikal thinking), yaitu berfikir sampai ke akar – akarnya sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berfikir sistematis adalah berfikir logis yang bergerak selangkah dengan penuh kesadarandenagn urutan yang bertanggungjawab dan saling berhubungan yang teratur. Berfikir universal, artinya tidak berfikir secara khusus melainkan mencakup keseluruhan secara sistematis dan logis sampai ke akar – akarnya. Orang yang berfilsafat yaitu orang yang berfikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.

Menurut Nasution (1989), ada empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealisme, relisme, pragmatisme,dan eksistensialisme. Idealisme, memandang bahwa kebenaran itu datang dari Yang Maha Kuasa.Manusia tidak perlu meragukan kebenarannya selain harus mematuhinya. Aliran Realisme memandang bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hukum – hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Aliran progmatisme berpendapat bahwa kenyatan itu pada hakikatnya berada pada hubungan sosial antara manusia dengan manusia lainnya. Aliran Eksistensialis mengakui bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan – kelemahan.


2. Landasan Psikologis

a. Psikologi Perkembangan Anak

Untuk memahami perkembangan siswa, Piaget mengemukakan teori perkembangan kognitif (intelektual). Kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang mengarahkaan dan membimbing perilaku anak. Tahapan perkembangannya yaitu:

1. Sensorimotor,yang berkembang dari mulai lahir sampai 2 tahun.

2. Praoperasional, mulai dari 2 sampai 7 tahun.

3. Operasional konkret, 7 sampai 11 tahun.

4. Operasional formal dimulai dari 11 sampai 14 tahun ke atas.

b. Psikologi Belajar

Menurut aliran Behavioristik, Belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respon. Karena itu teori ini dinamakan teori Stimulus – Respons.

3. Landasan Sosiologis – Teknologis

a. Kekuatan Sosial yang Dapat Mempengaruhi Kurikulum.

b. Kemajuam IPTEK sebagai Bahan Pertimbangan Penyusunan Kurikulum.

1) Perubahan Pola Hidup

2) Perubahan Kehidupan Sosial Politik 

REFERENSI
Adiwikarta,S, 1994. Kurikulum yang Berorientasi pada Kekinian, Kurikulum untuk Abad 21, Jakarta : Grasindo.
Abdullah, Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jakarta: Ar-Ruzz Media. Roni, Ahmad.Masalah Kurikulum dalam Pembelajaran. (http://kurtek.epi.edu/kurpen/6-pembelajaran.html diakses, tgl 5 mei 2008).
Kusnandar. 2007. Guru Profisional. Jakarta : PT Raja Grafindo.


No comments:

Post a Comment