MEMBEDAKAN
GANGGANG DENGAN ALGA
Praktikum
:1
Hari
dan tanggal : 20 September 2012
Kelompok : 1 (satu)
Agi
Azmi
Rifky Paturohman
Riska Febriyanto
Iid Ahmad Dimyati
Silvi Indriawati
TUJUAN
:
Mengetahui
perbedaan alga dengan ganggang
ALAT
DAN BAHAN :
Alat :
Microskop
Silet
Pipet
tetes
Kaca
objek
Bahan
:
CARA
KERJA :
1.Menyayat tipis melintang batang ganggang dengah silet dan
meletakannya pada kaca objek lalu di tetesi air menggunakan pipet tetes ,
selanjutnya menutupi dengan obyek gelas
2.Amati dengan microskop lihat
sel-sela pada batang ganggang
3.Semua hasil pengamatan yang
telah di amati dengan microskop, gambar sesuia dengan yang di amati dan
melengkapinya dengan keterangnan bagian bagian hasil pengamatan
4.Menggambar hasil pengamatan
PEMBAHASAN
Alga
merah Laurencia
Alga (jamak Algae) adalah sekelompok organisme autotrof yang tidak memiliki organ dengan
perbedaan fungsi yang nyata. Alga bahkan dapat dianggap tidak memiliki "organ"
seperti yang dimiliki tumbuhan (akar, batang, daun,
dan sebagainya). Karena itu, alga pernah digolongkan pula sebagai tumbuhan bertalus.
Istilah ganggang pernah
dipakai bagi alga, namun sekarang tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
kekacauan arti dengan sejumlah tumbuhan yang hidup di air lainnya, sepertiHydrilla.
Dalam taksonomi yang banyak didukung para pakar
biologi, alga tidak lagi dimasukkan dalam satu kelompok divisi atau kelas
tersendiri, namun dipisah-pisahkan sesuai dengan fakta-fakta yang bermunculan
saat ini. Dengan demikian alga bukanlah satu kelompok takson tersendiri.
Kelompok
alga
Dalam
pustaka-pustaka lama, alga selalu gagal diusahakan masuk dalam satu kelompok,
baik yang bersel satu maupun yang bersel banyak. Salah satu contohnya adalah
pemisahan alga bersel satu (misalnya Euglena ke dalam Protozoa) dari alga bersel banyak (ke
dalam Thallophyta).
Belakangan
disadari sepenuhnya bahwa pengelompokan sebagai satu klad tidak memungkinkan bagi semua
alga, bahkan setelah dipisahkan berdasarkan organisasi selnya, karena sebagian
alga bersel satu lebih dekat berkerabat dengan alga bersel banyak tertentu.
Saat
ini, alga hijau dimasukkan ke dalam kelompok
(klad) yang lebih berdekatan dengan semua tumbuhan fotosintetik (membentuk klad Viridiplantae). Alga merah merupakan kelompok
tersendiri (Rhodophycophyta atau Rhodophyceae); demikian juga
alga pirang (Phaeophycophyta atau Phaeophyceae) dan alga
keemasan (Chrysophyceae).
Alga prokariotik
Alga
biru-hijau kini dimasukkan sebagai bakteri sehingga dinamakan Cyanobacteria ("bakteri biru-hijau",
dulu disebut Cyanophyceae,
"alga biru-hijau") Dengan demikian, sebutan "alga" menjadi
tidak valid. Cyanobacteria memiliki struktur sel prokariotik seperti halnya bakteri, namun
mampu melakukan fotosintesis langsung karena memiliki klorofil.
Sebelumnya,
alga ini bersama bakteri masuk ke dalam kerajaan Monera.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya diketahui bahwa ia lebih banyak
memiliki karakteristik bakteri sehingga dimasukkan ke dalam kelompok bakteri
benar (Eubacteria). Sebagai tambahan, beberapa
kelompok organisme yang sebelumnya dimasukkan sebagai bakteri, sekarang malah
dipisahkan menjadi kerajaan tersendiri, Archaea.
Alga
eukariotik
Ciri
ciri alga
Diagram
yang menggambarkan teori mengenai evolusi alga (dan tumbuhan) masa kini yang
banyak didukung.
Jenis-jenis
alga lainnya memiliki struktur sel eukariotik dan mampu berfotosintesis, entah
dengan klorofil maupun dengan pigmen-pigmen
lain yang membantu dalam asimilasi energi.
Dalam
taksonomi paling modern, alga-alga eukariotik meliputi filum/divisio
berikut ini. Perlu disadari bahwa pengelompokan semua alga eukariotik sebagai Protistadianggap tidak valid lagi karena
sebagian alga (misalnya alga hijau dan alga merah) lebih dekat kekerabatannya
dengan tumbuhan daripada eukariota bersel satu lainnya.
Archaeplastida : Regnum incertae sedis
Archaeplastida : Regnum incertae sedis
|
Alga
merupakan tumbuhan thallus yang tidak mempunyai akar, batang, daun, dan bunga.
Struktur perkembangbiakannya hampir selalu bersel tunggal, jika ada yang bersel
banyak setiap komponen sel membentuk satuan reproduksi baik sebagai zoospora
maupun gamet. Alat reproduksi tidak memiliki lapisan luar yang terdiri atas
sel-sel steril. Alga tidak pernah menghasilkan embrio, yaitu zigotnya tidak
pernah berkembang menjadi tumbuhan muda yang bersel banyak ketika masih
terbungkus oleh alat kelamin betina (Dewi, 2006).
Morfologi
Menurut
Luning (1990) dalam Jelantik (2003), alga makroskopis memiliki ciri-ciri umum
sebagai berikut:
Tubuhnya
tersusun dari banyak sel
Struktur
tubuhnya berupa thallus yaitu suatu struktur yang belum dapat dibedakan dengan
jelas antara akar, batang, dan daun.
Di
dalam sel-sel tubuhnya terdapat pigmen penyerap cahaya yang berupa kloroplas
atau kromatofor
Bersifat
autotrof yang dapat menghasilkan zat organik dan oksigen melalui proses
fotosintesis
|
Struktur
anatomi thallus untuk tiap jenis alga makroskopis berbeda-beda. Ada thallus
yang memiliki percabangan dan ada pula yang tidak. Percabangan thallus ada yang
dichotomus (bercabang dua terus
menerus), pectinate (berderet searah
pada satu sisi thallus utama), pinnate (bercabang
dua-dua pada sepanjang thallus utama secara berselang-seling), dan verticillate (cabangnya berpusat
melingkari aksis atau sumbu utama). Menurut Aslan (1998) dalam Widayanti
(2008), sifat substansi thallus juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti
gelatin (gellatinous), mengandung zat
kapur (calcareous), lunak seperti
tulang rawan (cartilaginous), dan
berserabut (spongious). Gambar
berikut menyajikan berbagai bentuk thallus dan tipe percabangannya.
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar
2.1 Bentuk thallus pada alga: a) Bentuk pipih pada Ulva, b) Bentuk silinder pada Codium
sp, dan c) Bentuk tabung pada Vaucheria
(Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Gambar
2.2 Berbagai bentuk percabangan thallus pada alga 1) Tidak bercabang, 2)
Dichotomus, 3) Pinnate alternate, 4) Pinnate distichous, 5) Tetratichous, 6)
Verticillate, 7) Polystichous, 8) Pectinate, 9) Monopodial, 10) Sympodial
(Aslan, 1998)
Sebagian
besar alga mempunyai dinding sel yang jelas, tetapi beberapa marga dan sel-sel
reproduktif tertentu tidak mempunyai dinding sel. Materi penyusun dinding sel
alga adalah: selulosa, xilan, manan, polisakarida yang mengandung sulfat asam
alginate, protein, silikon, dioksida, dan CaCO3. Dinding sel alga
tidak dibentuk oleh satu senyawa, tetapi merupakan matriks dari satu materi
yang bergantian dengan materi yang lainnya atau terbentuk dari lapisan-lapisan
berbagai materi yang berbeda. Semua golongan alga mengandung klorofil dan
beberapa karotenoid. Dalam pigmen karotenoid termasuk karoten dan xantofil. Di
samping pigmen tersebut di atas yang larut dalam pelarut organik, ada pula
pigmen yang larut dalam air, yaitu fikobiliprotein, atau fikobilin. Pigmen ini
terdapat dalam alga biru dan alga merah.
Walaupun
alga tidak memiliki organ batang, akar, daun, dan bunga, namun bentuknya
berkisar dari tumbuhan yang bersel tunggal (mikroskopik) sampai yang bersel
banyak (makroskopik) yang sangat kompleks yang panjangnya mencapai 70 meter.
Karena demikian besarnya kisaran bentuk alga, maka Gupta (1981) dalam Dewi
(2006) membedakan bentuk alga sebagai berikut
Bersel
tunggal
Bersel
tunggal yang dapat bergerak
Contohnya:
Chlamidomonas
Bersel
tunggal yang tidak dapat bergerak
Contohnya:
Chlorella, Synecoccus
Thallus
bersel banyak
Dibagi
menjadi 5 bentuk sebagai berikut:
Koloni
Koloni
yang dapat bergerak, contohnya Volvox,
Pandorina
Koloni
yang kokoid yang tidak dapat bergerak, contohnya Hydrodiction, Pediastrum
Agregat
Contohnya
Palmella, Gloeocapsa
Filament
Filamen
yang bercabang, contohnya Ulothrix, Spirogyra
Filamen
yang bercabang, contohnya Cladophora
Filamen
yang heterotrikos, contohnya Chaelophora,
Ectocarpus, Stigeoelonium
Parenkim
semu, contohnya Nemaliun
Sipon
Contohnya
Briopsis, Vancheria
Thallus
Parenkim
Contohnya
Ulva, Porphyra, Panctaria
Keragaman
alga makroskopis relatif rendah dengan jumlah spesies sekitar 8.000 spesies.
Walaupun alga makroskopis diketahui menyebar secara luas mulai dari perairan
kutub sampai pada perairan tropis baik di belahan bumi utara maupun di belahan
bumi selatan, namun masing-masing spesies alga makroskopis memiliki daerah
sebaran tertentu pada laut-laut di seluruh dunia (Luning, 1990).
Habitat
Alga
Tempat
hidup alga umumnya di air, baik air tawar, laut maupun air payau. Tumbuhan alga
juga ditemukan di daerah bersalju, bersimbiosis dengan organisme lain seperti
lumut, paku atau fungi (membentuk lichens yang mampu hidup di atas batu yang
gersang dan kering), dan pada sumber air panas. Alga dapat tumbuh hampir di
semua tempat yang cukup basah dan cukup cahaya untuk berfotosintesis. Salah
satu habitat yang paling ekstrim adalah alga yang dapat hidup pada jaringan
tubuh hewan seperti pada beberapa jenis mentimun laut, binatang-binatang karang
yang mengadakan simbiosis yang saling menguntungkan. Beberapa jenis alga
memiliki “holdfast” sehingga dapat
melekat pada substrat, tetapi ada juga melayang bebas dalam air bersama makhluk
lain membentuk plankton. Alga sangat penting sebagai produsen yang menyediakan
makanan bagi sebagian besar hewan air (Loveless, 1989 dalam Dewi 2006).
Faktor-Faktor
Ekologis Penentu Kehidupan Alga
Kehidupan
biota laut, baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun mikroba, dimana pun ia terdapat
selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Adapun beberapa faktor
ekologis yang mempengaruhi kehidupan alga seperti keadaan substrat dasar
perairan, cahaya, suhu, salinitas, kekeringan, nutrien dan gerakan air. Tiap
spesies alga memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor
ekologis tersebut. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh bersama-sama dan
sederajat, atau satu faktor lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor yang
lain. Seperti pada muara sungai, faktor salinitas lebih menonjol pengaruhnya
daripada faktor-faktor lain dalam kaitannya dengan sebaran biota dari sungai ke
laut dan sebaliknya.
Substrat
Semua
makhluk hidup memerlukan tempat tumbuh untuk menunjang kehidupannya. Secara
ekologis, alga merupakan phytobenthos berukuran makro yang memerlukan substrat
sebagai tempat melekatnya. Substrat yang dapat digunakan sebagai tempat melekat
adalah pasir, batuan karang, coral mati, tanaman lain, dan mungkin benda-benda
padat yang kebetulan tenggelam di dalam laut. Alga melekatkan dirinya pada
substrat dengan perantaraan organnya yang disebut dengan holdfast. Berbeda dengan tumbuhan darat, alga tidak memerlukan
struktur jaringan untuk menyokong tegaknya tubuh dalam air. Hal ini
dimungkinkan karena air telah menyediakan daya apung yang membuat bagian-bagian
tubuh alga dapat terangkat ke atas di dalam kolom air. Disamping itu, pada
spesies alga tertentu ditemukan struktur organ menyerupai bola-bola kecil yang
dapat menyerap udara dan berperan sebagai pelampung, sehingga bagian-bagian
tubuh alga tersebut dapat terangkat ke atas untuk memaksimalkan penyerapan cahaya
(Sze, 1993, Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Dasar
perairan biasanya terkait dengan tingkat kecerahan perairan. Perairan dengan
dasar karang atau karang mati biasanya memiliki kejernihan air yang relatif
baik. Hal ini cukup penting bagi berlangsungnya fotosintesis alga. Dasar
perairan yang keras, kokoh dan kuat yang tidak dapat dipindahkan oleh gelombang
atau pengaruh lain, seperti batu-batuan dan batu karang merupakan substrat yang
baik bagi kehidupan alga yang merupakan bagian terbesar dari vegetasi laut.
Dasar perairan yang lemah dan gembur kurang baik bagi kehidupan alga, tetapi
banyak dihuni oleh alga yang berukuran kecil. Dasar perairan yang berlumpur
menyebabkan penetrasi cahaya rendah dan menempelnya lumpur pada alga. Keadaan
ini menyebabkan efektivitas pemanfaatan cahaya menurun sehingga alga tidak
dapat bertumbuh dan menyebabkan kematian dalam jangka waktu lama (Ambas, 2006).
Cahaya
Cahaya
matahari sebagai sumber energi sangat berpengaruh terhadap alga karena cahaya
sangat diperlukan untuk melangsungkan proses fotosintesis dan berperan sebagai
sinyal lingkungan yang dapat merangsang proses pertumbuhan dan perkembangan
pada alga (Luning, 1990 dalam Jelantik, 2003). Cahaya merupakan faktor yang
dominan dalam menentukan distribusi vegetasi tumbuhan akuatik.
Transparansi
air laut lebih besar dibandingkan air tawar, sehingga cahaya lebih dalam
menembus air laut dibandingkan air tawar. Kegiatan fotosintesis air laut dapat
berlangsung sampai kedalaman yang cukup besar yaitu sampai kedalaman 200 m.
Alga hanya mungkin tumbuh di perairan dengan kedalaman tertentu dimana sinar
matahari sampai ke dasar perairan.
Mutu
dan kualitas cahaya berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya.
Cahaya memiliki spektrum warna yang berbeda sesuai dengan panjang gelombang. Air laut dapat
mengurangi intensitas cahaya, serta dapat menyerap warna yang berbeda dengan
panjang gelombang lebih pendek seperti warna biru, hijau, dan kuning tidak
begitu banyak diserap seperti halnya warna merah. Pembentukkan spora dan
pembelahan sel dapat dirangsang oleh cahaya merah berintensitas tinggi. Menurut
Nybakken (1992), alga intertidal memerlukan cahaya dengan panjang gelombang
terpanjang (merah) yang diserap oleh air dengan cepat, dan cenderung banyak
ditemukan di daerah intertidal yang lebih tinggi, sehingga ketika alga tenggelam
(ketika benar-benar berfotosintesis), alga tersebut tidak boleh berada di
tempat yang terlalu dalam di bawah penetrasi cahaya merah (kira-kira 2 m).
Intensitas
maupun panjang gelombang berpengaruh pada pengendalian penyebaran alga. Karena
alga intertidal utama dibagi ke dalam 3 kelompok: merah, cokelat, dan hijau,
dan ketiganya menyerap spektrum cahaya yang berbeda, maka dapat dikatakan bahwa
alga-alga tersebut akan tersusun di sepanjang gradien kedalaman. Pada satu
gradien, alga hijau berada di tempat teratas karena menyerap sinar merah, alga
cokelat di tengah, dan terakhir alga merah yang menyerap cahaya hijau terdapat
di daerah yang terdalam (Nybakken, 1992). Menurut Aslan (1998) dalam Widayanti
(2008) kebutuhan cahaya pada alga merah agak rendah dibandingkan alga coklat.
Hal ini disebabkan oleh alga merah memiliki pigmen xantofil, karoten, dan fikobiliprotein yang mampu menyerap
energi cahaya gelombang pendek dan ditransfer ke klorofil a. Alga yang berwarna
hijau akan tumbuh subur di dekat permukaan dengan intensitas cahaya yang tinggi
dengan cahaya merah yang melimpah, sedangkan alga merah dapat hidup pada
perairan yang lebih dalam dengan kondisi intensitas cahaya yang lebih rendah
yang mampu menggunakan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih pendek untuk
melakukan fotosintesis.
Suhu
Secara
prinsip suhu yang tinggi dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta
dapat merusak enzim dan membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang
tinggi. Pada suhu yang rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami
kerusakkan sebagai akibat terbentuknya kristal es dalam sel. Terkait dengan
itu, maka suhu sangat mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan kehidupan
alga seperti kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi,
fotosintesis dan respirasi (Luning, 1990).
Berbeda
dengan yang di daratan, variasi suhu di air tidak begitu besar. Suhu air di
permukaan jarang sampai melebihi 300 C yang tidak pernah berada di
bawah titik beku -3,60 C. di laut yang agak dalam suhu agak rendah
dan seragam. Dengan amplitudo suhu yang relatif kecil, alga dapat melakukan
kegiatan sepanjang musim. Pada musim panas melakukan kegiatan vegetatif
sedangkan pada musim dingin mengadakan reproduksi.
Dalam
hal kelangsungan hidup, maka alga-alga yang bersifat eurythermal dapat bertahan
hidup pada perairan yang suhunya sangat berfluktuasi, sedangkan alga-alga yang
bersifat stenothermal tidak dapat hidup pada lingkungan yang demikian.
Alga-alga yang bersifat eurythermal dapat menyebar secara luas dan cenderung
generalis, sedangkan alga-alga yang stenothermal memiliki wilayah sebaran yang
sempit dan cenderung bersifat spesialis dalam batas kaitannya dengan batas
toleransi terhadap suhu (Luning, 1990).
Dalam
kaitannya dengan pertumbuhan, maka suhu optimal bagi pertumbuhan alga
berbeda-beda tergantung jenis alga dan lintang tempat dimana alga itu berada.
Sebagai contohnya, jenis alga yang berada di daerah kutub dapat tumbuh dengan
baik pada suhu 0-100 C, sedangkan jenis alga yang hidup di daerah
iklim sedang yang agak dingin dapat hidup dapat tumbuh dengan baik pada suhu
10-150 C. Jenis alga yang hidup di daerah iklim sedang yang agak
hangat dapat tumbuh dengan baik pada suhu 10-200 C, sedangkan jenis
alga yang hidup di daerah tropis dapat tumbuh dengan baik pada suhu 15-300
C (Luning, 1990).
Dalam
kaitannya dengan pembiakkan, maka suhu sangat mempengaruhi pembentukkan gamet
dan spora. Suhu yang tinggi dapat menghambat pembentukkan gametangia ordo alga
tertentu yang hidup di daerah iklim sedang yang hangat (Luning, 1990).
Salinitas
Menurut
Kennish (2001), salinitas didefinisikan sebagai berat dalam gram dari garam
anorganik yang terlarut di dalam 1 kilogram air laut sesudah semua bromin dan
iodin digantikan dengan jumlah yang sama oleh klorin, semua karbonat dikonversi
menjadi oksida dalam jumlah yang sama, dan semua bahan-bahan organik teroksidasi pada suhu 4800C.
Salinitas biasanya dinyatakan dalam satuan satu per seribu (0/00),
tetapi dapat juga dinyatakan dalam milligram per liter (mg/L), miliequivalent
per liter (meq/L), gram per kilogram (gr/kg), atau persen (0/0).
Salinitas
di lautan berkisar antara 33 sampai dengan 38 0/00 dengan
rata-rata 35 0/00. Muara sungai memiliki lebih banyak
variasi salinitas dibandingkan laut.
Keadaan ini berubah secara temporer dalam tahunan, musiman, harian dan
siklus tidal dan secara ruang menurut garis longitudinal, bujur dan lintang.
Percampuran antara air sungai dan air laut, larutan berbeda secara signifikan
ditinjau dari komposisi sifat fisik dan kimianya sehingga berpengaruh terhadap
variasi suhu (Kennish, 2001).
Salinitas
merupakan salah satu parameter kualitas air yang cukup berpengaruh pada
organisme dan tumbuhan yang hidup di perairan. Salinitas perairan yang ideal
bagi lahan budidaya alga berkisar antara 28-34 permil, dimana salinitas
optimumnya adalah 32 permil (Ambas, 2006). Agar dapat tumbuh dengan baik,
tekanan osmosis di dalam sel-sel alga harus sesuai dengan tekanan osmosis
lingkungan perairan tempat hidupnya. Mengingat salinitas berbanding lurus
dengan tekanan osmosis, maka tekanan osmosis sel-sel alga yang hidup di laut
yang bersalinitas lebih tinggi menjadi lebih tinggi dibanding tekanan osmosis
alga yang hidup di laut yang bersalinitas lebih rendah (Luning, 1990).
Kadar
garam di samudra bebas kurang lebih 3,5 %, tetapi pada tempat tertentu
menyimpang dari angka tersebut. Bila terjadi banyak penguapan maka kadar garam
akan meningkat, tetapi bila terjadi pengenceran oleh adanya air tawar maka
kadar garam menurun. Penurunan kadar garam tanpa disertai perubahan iklim menyebabkan
perubahan populasi alga hijau, alga perang maupun alga merah. Secara umum akan
terjadi penurunan pertumbuhan vegetasi, bahkan pada konsentrasi yang lebih
rendah alga perang dan merah menjadi kerdil.
Terkait
dengan pertumbuhan, maka salinitas yang ekstrim dapat menurunkan laju
pertumbuhan alga secara tajam. Tingkat penurunan laju pertumbuhan ini
bergantung juga kepada daya toleransi alga terhadap fluktuasi salinitas
(Luning, 1990). Beberapa daerah yang perlu dihindari sebagai lahan budidaya
alga laut adalah muara sungai. Daerah ini memiliki salinitas yang rendah
dibandingkan dengan perairan laut yang tidak mendapatkan suplai air tawar.
Bahkan pada musim hujan, pasokan air tawar yang masuk akan semakin banyak dan
menurunkan nilai salinitas secara drastis. Hal ini berdampak kurang baik
terhadap pemeliharaan alga laut (Ambas, 2006).
Kekeringan
Suatu
alasan yang unik menyatakan bahwa rendahnya keanekaragaman alga mungkin
disebabkan karena hampir semua alga tidak mengalami tekanan kekeringan.
Tingginya keanekaragaman tumbuhan darat adalah karena secara periodik mereka
mengalami tekanan kekeringan ( Luning, 1990)
Daya
toleransi alga terhadap kekeringan dapat dipengaruhi oleh morphologi dan bentuk
pertumbuhan dari alga itu. Semakin luas permukaan spesifik alga itu, semakin
tidak tahan alga itu terhadap kekeringan. Untuk mengurangi jumlah penguapan
air, beberapa jenis alga bertalus ramping dan memiliki bentuk pertumbuhan talus
yang rapat dan saling tumpang tindih dengan maksud agar luas permukaan spesifik
yang bersentuhan dengan udara dapat berkurang. Dengan demikian, penguapan air
dapat dikurangi.
Nutrien
Nutrisi
merupakan faktor ekologis yang penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup
setiap organisme. Tidak seperti tumbuhan pada umumnya yang zat haranya tersedia
dalam tanah, zat hara alga diperoleh dari air sekelilingnya. Bila diamati
secara seksama bagian yang menyerupai akar hanya berfungsi sebagai pelekat
saja. Penyerapan zat hara dilakukan melalui seluruh bagian tanaman (Indriani
dkk, 1997). Phosphor dan nitrogen secara normal konsentrasinya rendah di dalam
air laut, sehingga sering menjadi faktor pembatas untuk pertumbuhan rumput
laut. Nitrogen diserap oleh alga dalam bentuk nitrat dan ammonium. Apabila
kadar nitrat dan phospat melimpah di perairan maka akan mempengaruhi stadia
reproduksi alga (Jelantik, 2003).
Gerakan
Air
Gerakan-gerakan
air laut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti angin yang menghembus di atas
permukaan air laut. Pengadukkan yang terjadi karena perbedaan suhu air dari dua lapisan air, perbedaan tinggi
permukaan air laut, pasang surut, dan lain-lain. Gerakan air laut ini dikenal
sebagai arus, gelombang, gerakan massa air ke permukaan (upwelling). Gerakan
air laut penting bagi berbagai proses biologik dan nonbiologik dalam laut.
Gerakan
air diperlukan untuk mempercepat difusi gas dan ion-ion di dalam air. Dengan
lancarnya difusi gas dan ion-ion yang diperlukan oleh alga maka pertumbuhan
alga akan menjadi lebih cepat. Gerakan air juga berfungsi dalam membantu
mensuplai zat hara dan membersihkan kotoran yang menempel pada alga (Ambas,
2006). Di pihak lain gerakan air yang berupa arus dan gelombang dapat menekan,
melucuti, membengkokkan dan memelintir thallus-thallus dari alga terutama yang
memiliki daun yang sempit yang hidup di perairan yang gelombangnya cukup besar.
Gerakan air juga dapat mempengaruhi bentuk pertumbuhan rumput laut. Sebagai
contoh adalah alga yang hidup pada perairan yang mengalir deras dapat tumbuh
dengan daun yang sempit dan pipih serta membentuk berkas stream line. Sementara itu, alga dari jenis yang sama yang hidup
pada perairan yang lebih tenang dapat tumbuh membentuk daun yang lebih besar
dan bergelombang (Jelantik, 2003).
Gerakan
air juga mempengaruhi gerakan dan sebaran spora alga yang kebanyakan bersifat
planktonis. Kekuatan gerakan air akan mempengaruhi melekatnya spora pada
substratnya. Alga yang tumbuh di perairan berombak dan berarus kuat akan
memiliki karakteristik spora yang berbeda dengan alga yang tumbuh di perairan
tenang. Gerakan air mengalir (arus) yang baik untuk pertumbuhan alga antara
20-40 cm/detik. Sedangkan gerakan air yang bergelombang (ombak) harus tidak
lebih dari 30 cm. Bila arus air lebih cepat maupun ombak lebih tinggi, dapat
menyebabkan alga robek, rusak dan terlepas dari substrat. Selain itu,
penyerapan zat hara akan terhambat karena belum sempat diserap sudah dibawa
kembali oleh air laut.
Pasang
Surut
Pasang
surut adalah peristiwa naik turunnya permukaan laut secara periodik suatu
interval tertentu. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling
mempengaruhi kehidupan zone intertidal (Nybakken, 1992). Adanya kisaran keadaan
lingkungan yang silih berganti secara periodik antara keadaan air (pada saat
pasang). Faktor-faktor fisik pada keadaan ekstrim organisme masih bisa
menempati perairan, akan menjadi faktor pembatas dan mematikan apabila air
sebagai isolasi dihilangkan. Kombinasi pasang surut dan waktu, dapat
menimbulkan dua akibat langsung yang nyata pada kehadiran dan organisasi
komunitas intertidal sebagai berikut:
Perbedaan
waktu yang relatif lama suatu daerah tertentu di intertidal berada di udara
terbuka dengan lamanya terendam air. Lamanya terkena udara terbuka merupakan
hal yang sangat penting, sebab pada waktu itu organisme laut berada pada
kisaran suhu terbesar dan kemungkinan mengalami kekeringan (kehilangan air).
Semakin lama kena udara, semakin besar mengalami suhu letal (mati) atau
kehilangan air di luar batas kemampuannya dan semakin kecil kesempatannya untuk
mencari makan sehingga menyebabkan organisme kekurangan energi.
Pengaruh
pasang surut terjadi secara teratur dan dapat diramalkan. Pasang surut
cenderung menimbulkan irama tertentu dalam kegiatan organisme pantai.
Pasang
surut adalah gerakan naik turunnya muka laut secara berirama yang disebabkan
oleh gaya tarik bulan dan matahari. Pengaruh matahari terlihat pada saat pasang
purnama dan pasang perbani. Pasang purnama dan pasang bulan mati adalah pasang
yang menunjukkan kisaran terbesar (baik naik maupun turun) dan terjadi bila
bulan dan matahari terletak sejajar sehingga kedua gayanya bergabung. Pasang
perbani adalah pasang dengan kisaran minimum dan terjadi bila matahari dan
bulan membentuk sudut siku-siku sehingga gayanya saling menetralkan. Pasang
surut ada 3 macam antara lain:
Pasang
surut diurnal artinya pasang surut yang terjadi dari satu pasang naik dan satu
pasang surut.
Pasang
surut semidiurnal artinya pasang surut yang mempunyai dua pasang naik dan dua
pasang surut.
Pasang
surut campuran artinya campuran antara pasang surut diurnal dengan pasang surut
semidiurnal.
Pada
gambar 2.3, disajikan mengenai posisi bulan dan matahari pada saat pasang-surut
perbani dan pasang-surut purnama.
(A)
(B)
Gambar
2.3 Posisi bulan dan matahari pada saat pasang-surut perbani dan pasang-surut
purnama
Terumbu
Karang
Terumbu
karang adalah endapan-endapan massif yang terbuat dari kalsium karbonat (CaCo3)
yang terutama dihasilkan oleh binatang karang dari Phylum Cnidaria, Classis Anthozoa, Ordo
Madreporaria (Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari tumbuhan alga berkapur
seperti Halimeda sp dan
organism-organisme lain yang dapat menghasilkan senyawa kalsium karbonat
seperti tiram raksasa (kima) dari Tridacna
sp dan Hippopus sp.
Ekosistem
terumbu karang adalah ekosistem yang disusun oleh komponen utama berupa hewan
karang (Scleractinia) menghasilkan
terumbu dan komponen lain yang berupa berbagai biota yang berasosiasi seperti
alga berkapur Zooxanthella sp,
berbagai jenis Echinodermata, Crustacea,
Molluska, dan berbagai jenis ikan yang kesemuanya terjalin dalam hubungan
fungsional yang harmonis di tengah komponen biotik yang mempengaruhinya.
Organisme
Pemakan Alga
Alga
merupakan tumbuhan yang hidup di laut, dimana memiliki peranan yang penting
bagi kehidupan hewan laut dalam hal ini memiliki satu kesatuan dalam ekosistem
laut. Organisme-organisme pemakan alga diantaranya adalah hewan laut dari
Classis Echinodea, yang hidup di atas
batu karang atau dalam lumpur pada pantai. Hewan ini bergerak dengan
menggunakan duri yang bersendi dan kaki ambulakral. Beberapa jenis yang hidup
pada sumur-sumuran di daerah pantai atau di bawah rumput laut dan ada juga yang
membenamkan diri dalam tanah liat di muka muara sungai atau di bawah
karang-karang yang lunak.
Reproduksi
Alga
Pada
tanaman alga dikenal tiga macam pola reproduksi yaitu:
Reproduksi
generatif (seksual) dengan gamet
Reproduksi
vegetative (aseksual) dengan spora
Reproduksi
fragmentasi dengan potongan thallus (stek)
Pergiliran
keturunan antara seksual dengan aseksual merupakan pembiakan alami yang terjadi
pada tanaman rumput laut, sedangkan pembiakan secara stek biasanya banyak
dilakukan dalam usaha membudidayakan rumput laut.
Reproduksi
Seksual
Proses
reproduksi seksual pada alga makroskopis termasuk alga pada umumnya berlangsung
secara anisogami dan oogami yang mana keduanya lazim disebut heterogami. Pada
alga makroskopis termasuk rumput laut, gamet-gamet dihasilkan oleh organ khusus
gametangia yang terdiri atas dua macam yaitu spermatangia (antheridium) yang
menghasilkan sperma, dan oogonium yang menghasilkan sel telur (Bold dan Wynne,
1985 dalam Jelantik, 2003).
Sperma
dan sel telur masing-masing memiliki bentuk, ukuran, motilitas yang berbeda.
Sperma umumnya berukuran lebih kecil, berflagela dan dapat bergerak, sedangkan
sel telur berukuran lebih besar, tidak berflagela, dan tidak dapat bergerak.
Namun demikian, pada alga merah (Rhodophyta),
spermanya tidak berflagella dan dapat bergerak secara amuboid dan disebut
spermatia. Spermatia itu dihasilkan di dalam gametangia kecil yang disebut
spermatangia. Sementara itu, oogonium pada alga merah membentuk tonjolan yang
disebut trichogyne yang merupakan tempat untuk menerima gamet jantan (sperma).
Oogonium pada alga merah lazim disebut carpogonium (Bold dan Wynne, 1985 dalam
Jelantik, 2003).
Pembentukkan
gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum) dalam suatu proses perkawinan,
memiliki dua pola yaitu; 1) monoecious yaitu
bilamana sperma dan ovum berasal dari satu individu ; 2) dioecious yaitu bilamana sperma dan ovum masing-masing berasal dari
individu yang berbeda. Alga-alga yang melakukan perkawinan secara monoecious
biasanya disebut alga homothallus, sedangkan alga-alga yang melakukan
perkawinan secara dioecious biasanya disebut alga heterothallus (Bold dan
Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Alga
memiliki tiga pola siklus hidup secara seksual. Pada pola siklus hidup yang
pertama terdapat satu tipe individu yang hidup bebas yang bersifat haploid.
Dalam hal ini terjadi pembentukkan gamet pada alga yang telah matang.
Gamet-gamet ini kemudian akan menyatu membentuk zygote yang bersifat diploid
dan dapat mengalami dormansi. Bilamana saatnya tiba (kondisi baik), zigot ini
dapat berkecambah, dan pada saat ini intinya mengalami meiosis sehingga
menghasilkan zoospora, aplanospora atau juvenile yang mirip alga dewasa dan
bersifat haploid. Pola siklus hidup yang pertama ini disebut pola haplobiontik
dan dilambangkan dengan simbul H,h dan banyak terjadi pada alga hijau (Bold dan
Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003). Pada gambar 2.4 berikut disajikan gambar tipe daur hidup reproduksi
seksual haplobiontik.
Gambar 2.4 Tipe daur hidup reproduksi seksual
haplobiontik (Bold dan Wynne, 1979 dalam Jelantik 2003).
Pada
pola hidup yang kedua, satu tipe individu alga yang hidup bebas bersifat
diploid. Pola siklus hidup seperti ini dilambangkan dengan H,d. Individu yang
bersifat diploid dapat memperbanyak dengan cara aseksual. Contoh alga yang
memiliki pola siklus hidup seperti ini adalah alga hijau yang berbentuk tabung,
dan alga batu (Fucales) dari divisi Phaeophyta (Bold dan Wynne, 1985 dalam
Jelantik, 2003). Berikut
disajikan gambar tipe daur hidup reproduksi seksual haplobiontik diploid.
Gambar 2.5 Tipe daur hidup reproduksi seksual
Haplobiontik diploid (Bold dan Wynne, 1979 dalam Jelantik 2003).
Pada
pola siklus hidup yang ketiga terdapat dua tipe individu yang hidup bebas yaitu
individu penghasil gamet (gametophyt) yang bersifat haploid dan individu
penghasil spora (sporophyt) yang bersifat diploid. Gamet-gamet yang dihasilkan
dapat menyatu membentuk zygote yang tidak mengalami masa dormansi. Zygote ini
kemudian tumbuh menjadi sporophyt yang bersifat diploid. Dalam hal ini meosis
terjadi pada saat pembentukkan spora (sporogenesis). Spora yang dihasilkan
bersifat haploid dan berkembang menjadi gametophyte. Baik sporophyt maupun
gametophyte masing-masing dapat memperbanyak dirinya dengan cara aseksual. Pola
siklus hidup seperti ini dikenal dengan diplobiontik yang dilambangkan dengan
simbul D, h+d, dan banyak terjadi pada alga merah (Rhodophyta). Siklus hidup diplobiontik ada dua macam yaitu isomorphik
dan heteromorphik. Dikatakan isomorphik bilamana gametophyt dan sporophyt
memiliki kesamaan bentuk, sedangkan heteromorphik bilamana gametophyt dan
sporophyt masing-masing bentuknya berbeda. Isomorphik dilambangkan dengan
simbul Di, h+d, sedangkan heteromorphik dilambangkan dengan Dh,
h+d (Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003). Berikut disajikan gambar tipe daur hidup reproduksi
seksual diplobiontik.
Gambar 2.6
Tipe daur hidup reproduksi seksual Diplobiontik (Bold dan Wynne, 1979 dalam Jelantik,
2003).
Reproduksi
Aseksual
Pada
alga, reproduksi aseksual berupa pembentukkan suatu individu baru melalui
perkembangan spora, pembelahan sel, dan fragmentasi. Pembiakkan spora berupa
pembentukkan gametofit dari tetraspora yang dihasilkan dari tetrasporofit. Tipe
pembiakan ini umumnya terdapat pada alga merah. Pada alga yang bersel satu,
setiap individu mempunyai kemampuan untuk membelah diri dan membentuk individu
baru. Pada alga multiseluler seperti Enteromorpha,
Polysiphonia, Gracilaria, dan Eucheuma,
potongan thallusnya mempunyai kemampuan berkembang meneruskan pertumbuhan
(Aslan, 1998 dalam Widayanti, 2008).
Reproduksi
fragmentasi dengan potongan thallus (stek)
Dalam
usaha budidaya rumput laut, misalnya marga Eucheuma,
Gracilaria, umumnya dilakukan dengan penyetekan sebagai bibit untuk
dikembangbiakan secara produktif. Dalam hal ini, dari rumpun thalli alga dibuat
potongan-potongan dengan ukuran tertentu (30-150 gram) untuk dijadikan bibit.
Bibit stek ini ditanam dengan mengikatkannya pada tali-tali nilon di perairan
dengan jarak tertentu atau pada rak apung. Pertumbuhannya dapat dilihat dengan
bertambah besarnya bibit tersebut. Cepat atau lambatnya pertumbuhan tergantung
pada jenis alga dan mutu lingkungan penanaman ( Aslan, 1998 dalam Widayanti,
2008).
Klasifikasi
Alga
Menurut
Smith (1955), alga dibagi menjadi 7 divisi sebagai berikut:
Divisi
Chlorophyta dengan 2 kelas yaitu, kelas Chlorophyceae dan kelas Charophyceae
Divisi
Euglenophyta dengan 1 kelas yaitu, kelas Euglenophyceae
Divisi
Pyrophyta dengan 2 kelas yaitu, kelas Despmaphyceae dan kelas Dynophyceae.
Divisi
Chrysophyta dengan 3 kelas yaitu, kelas Chrysophyceae, kelas Xantophyceae, dan
kelas Bacillariophyceae
Divisi
Phaeophyta dengan 3 kelas yaitu, kelas Isogeneratae, kelas Heterogeneratae, dan
kelas Cyclosporeae
Divisi
Cyanophyta dengan satu kelas yaitu, kelas Myxophyceae
Divisi
Rhodophyta dengan satu kelas yaitu, kelas Rhodophyceae
Alga-alga
makroskopis yang sebagian besar hidup di air laut termasuk pada divisi
Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta.
Chlorophyta
Divisi
Chlorophyta yang lebih dikenal atau
populer dengan sebutan alga hijau, yaitu kelompok terbesar dari alga yang
terdiri dari lebih kurang 429 marga dan 6600 jenis. Anggotanya 90% hidup di air
tawar, sisanya hidup di air laut dan, beberapa ada yang hidup di air payau.
Alga air tawar dapat dijumpai di mana saja asalkan lembab dan cukup cahaya.
Alga air laut umumnya tumbuh pada perairan yang dangkal sepanjang pantai dan
sering melekat pada substrat yang keras seperti batu dan batu karang.
Menurut
Gupta (1981) dalam Dewi (2006) Chlorophyta
dikenal dengan ciri-ciri yang sangat khas yaitu:
Mempunyai
pigmen yang terdapat dalam kloroplas yang didominasi oleh klorofil a dan b sehingga menyebabkan alga
ini berwarna hijau
Produk
asimilasi berupa pati yang dalam pembentukkannya berhubungan dengan pirenoid
Gamet
mempunyai 2 atau 4 flagel tipe whiplash yang
sama panjangnya terletak pada bagian anterior
Reproduksi
seksual isogami, anisogami, dan oogami
Setiap
sel mempunyai inti sejati (ada membran inti)
Dinding sel terdiri atas selulosa
Reproduksi
Chlorophyta dilakukan dengan tiga
cara, yaitu cara vegetatif, aseksual, dan seksual. Reproduksi vegetatif dapat
terjadi dengan patahnya thallus atau pigmen menjadi dua atau lebih, dan setiap
patahan akan tumbuh menjadi individu baru. Reproduksi aseksual dengan zoospore
yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang berfungsi sebagai sporangia. Reproduksi
secara seksual melalui proses plasmogami, kariogami, dan meiosis yang terjadi
secara berurutan. Gamet dibentuk dalam gametangium. Sel telur dihasilkan oleh
oogonium dan anterozoid yang dihasilkaan anteridium.
Ditinjau
dari morfologinya, tumbuhan alga hijau dapat dikelompokkan ke dalam 5 golongan,
yaitu:
Organisme
yang uniseluler yang motil dan non motil
Organisme
koloni yang motil dan kokoid
Organisme
filamentik yang bercabang dan tidak bercabang
Organisme
seperti membran/ daun (parenkim)
Organisme
sinositik (pipa) (Gupta, 1981)
Sebaran
alga hijau terdapat terutama di daerah litoral bagian atas, khususnya di
belahan bawah atas daerah pasang surut, dan tepatnya pada kedalaman 10 meter
atau lebih, yang habitatnya mendapat penyinaran matahari yang baik. Alga ini
terdapat melimpah di perairan hangat (tropik).
Di
Indonesia tercatat sedikitnya 12 marga alga hijau yang banyak dijumpai di
perairan pantai, beberapa marga-marga alga itu adalah sebagai berikut:
Caulerpa yang dikenal beberapa penduduk
pulau sebagai anggur laut, terdiri dari 15 jenis dan 5 varietas. Berikut ini
disajikan gambar beberapa jenis alga Caulerpa.
Gambar
2.7 Beberapa jenis alga Caulerpa (
Bold dan Wynne, 1980 dalam Romimohtarto, 2001).
Ulva mempunyai thallus berbentuk
lembaran tipis seperti sla, oleh karenanya dinamakan sla laut. Ada tiga jenis
yang tercatat, satu di antaranya Ulva
reticulata. Alga ini biasanya melekatnya dengan menggunakan alat pelekat
berbentuk cakram yang melekat pada batu atau substrat lain atau pada tabung
dari cacing beruas. Tangkai yang pendek dapat menghubungkan alat ini dengan
daun yang tipis dan lebar, 0,1 mm tebalnya, dan ukurannya tidak teratur. Daun
yang lebar mencapai 400 cm2. Daunnya mempunyai sejumlah perforasi
tak teratur dan tebalnya hanya dua sel. Tumbuhan ini dapat terlepas dari
pegangannya yang tersebar di sekitar daerah pasang surut. Alga ini tumbuh bagus
di selat-selat dan perairan teluk yang tenang. Pada gambar 2.8 berikut ini
disajikan gambar Ulva lactuca.
Gambar
2.8 Ulva
lactuca. A) Tumbuhan Ulva, B) Zoospora, dan
C) Irisan memanjang menurut Newton, (1931) dalam Romimohtarto (2001).
Valonia (V.
ventrikosa)
mempunyai thallus yang membentuk gelembung berisi cairan berwarna ungu atau
hijau mengkilat, menempel pada karang mati atau batu karang.
Dictyosphaera (D.
cavernosa) dan
jenis-jenis marga ini di Nusa Tenggara dinamakan bulung yang dimanfaatkan untuk
sayuran.
Halimeda terdiri dari 18 jenis, marga alga
ini berkapur menjadi salah satu penyumbang kapur air laut. Halimeda tuna terdiri atas rantai cabang dari potongan tipis
berbentuk kipas. Potongan-potongan ini berkapur, masing-masing 2 cm tengahnya.
Yang terbesar dihubungkan satu dengan yang lainnya oleh sendi-sendi yang tak
berkapur. Mereka berada di bawah air surut rata-rata pada pasang surut
bulan-setengah, pada pantai berbatu dan paparan terumbu, tetapi
potongan-potongannya dapat tersapu ke bagian atas pantai setelah terjadi badai.
Halimeda opuntia berbeda dengan H. tuna karena jenis ini mempunyai
potongan bentuk kipas lebih kecil, berwarna hijau muda, mempunyai panjang 1 cm
dan mempunyai bentuk pinggiran yang kurang teratur. Jenis ini terdapat di bawah
air surut rata-rata pada pasang surut bulan-setengah pada pantai berbatu dan
paparan terumbu. Pada gambar 2.9, disajikan gambar beberapa jenis alga Halimeda.
Chaetomorpha mempunyai thallus atau daunnya
berbentuk benang yang menggumpal. Jenis yang diketahui adalah C. crassa yang sering menjadi gulma bagi
budi daya rumput laut.
Codium hidup menempel pada batu atau
batu karang.
Udotea terdapat atau tumbuh di dasar
pasir dan terumbu karang.
Gambar
2.9 Beberapa jenis alga Halimeda (Kadi,
1987 dalam Romimohtarto, 2001).
Tydemania (T.
expeditionis)
tumbuh di paparan terumbu karang yang dangkal dan pada kedalaman 5-30 m di
perairan jernih.
Bernetella (B.
nitida) menempel
pada karang yang mati dan pecahan karang di paparan terumbu.
k. Burgenesia
(B. forbesii) mempunyai thallus yang berbentuk kantung silindrik berisi
cairan berwarna hijau tua atau hijau kekuningan, menempel pada batu karang atau
tumbuhan air.
l. Neomeris
(N. annulat) tumbuh menempel pada substrat dari karang mati di dasar laut
(Romimohtarto, 2001).
Phaeophyta
Phaeophyta
atau alga coklat umumnya merupakan bentuk yang kompleks dibandingkan dengan
alga lainnya. Jenis-jenis yang uniseluler tidak ditemukan. Tumbuhan ini
memiliki ukuran beberapa millimeter sampai 70 meter. Saprofit maupun gametofit
yang telah dewasa mempunyai bentuk tertentu, mengalami deferensiasi menjadi
bagian yang tegak dan alat pelekat (holdfast).
Dalam
Dewi (2006), karakteristik pada Phaeophyta sebagai berikut.
Pigmentasi
Alga
coklat mempunyai klorofil a dan c, alfa dan beta karoten dan beberapa
flavosantin dan leutin. Xantofil (fukosantin dan violaksantin) dalam jumlah
banyak sehingga menyebabkan warna coklat sampai hijau kecoklatan. Pigmen terletak
dalam plastid dengan tilakoid.
Cadangan
makanan
Berupa
laminarin, manitol, dan lemak. Pada beberapa jenis mengandung algin dan asam
alginate sebagai komponen penyusun dinding selnya.
Motilitas
Alga
coklat tidak ada yang uniseluler. Sel-sel reproduktif baik zoospora maupun
gamet yang mempunuyai flagella yang umumnya terdapat pada bagian lateral yang
tidak sama panjang. Flagel pada bagian anterior yang lebih panjang memiliki
tipe tinsel dan pada bagian yang posterior lebih pendek memiliki tipe whiplash.
Dinding
sel
Dinding
sel menghasilkan asam alginat, banyak terdapat pada tipe-tipe yang disebut
“kelp” dan “fukoid”. Asam alginate memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Biasanya digunakan sebagai stabilizer produk-produk komersial lainnya seperti
produk “rumput laut” yang dapat dimakan.
Alga
coklat banyak ditemukan pada habitat air laut dan hanya tiga jenis yang
terdapat pada air tawar. Yang hidup di air laut terutama terdapat di daerah
yang beriklim dingin dan tidak banyak yang terdapat di daerah tropik. Tumbuhan
baik pada daerah litoral atau daerah pasang surut, tetapi tipe kelp terdapat
pada perairan sublitoral. Jenis-jenis Sargasum
dan Turbinaria terdapat di daerah
tropik dan subtropik.
Smith
(1955) membagi divisi Phaeophyta menjadi 3 kelas sebagai berikut.
Kelas
Isogeneratae
Daur
hidupnya menunjukkan pergantian yang isomorf.Contohnya bangsa Ectocarpales, dan Dictyotales
Kelas
Heterogeneratae
Daur
hidupnya menunjukkan pergantian yang heteromorf. Contohnya bangsa Laminariales, dan Desmarestiales.
Kelas
Cyclosporae
Tidak
menunjukkan adanya pergantian keturunan, hanya mempunyai keturunan yang diploid
saja. Contohnya bangsa Fucales.
Menurut
Romimohtarto (2001), di Indonesia terdapat delapan marga alga coklat yang
ditemukan yaitu sebagai berikut.
Cystoseira sp yang hidup menempel pada batu di
daerah rataan terumbu karang dengan alat pelekatnya yang berbentuk cakram
kecil. Alga ini mengelompok bersama-sama dengan komunitas Sargasum dan Turbinaria. Alat
ini memiliki dua atau tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi.
Terdapat kantung udara kecil di sepanjang thallus. Pada gambar 2.10 disajikan
gambar Cystoseira ericoides.
.
Gambar
2.10 Cystoseira ericoides, A.
Tumbuhan Cystoseira, B. Kantung udara
yang diperbesar, C. Irisan melalui reseptakel, D. Oogonium, dan E. Anteridium
(Newton, 1931 dalam Romimohtarto, 2001).
Dictyopteris sp yang hidup melekat pada batu di
pinggir luar rataan terumbu, jarang dijumpai.
Dictyota (D.
bartayresiana), tumbuh
menempel pada batu karang mati di daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua
dan mempunyai thallus bercabang yang terbagi dua. Thallus yang pipih dan
lebarnya 2 mm, tersusun atas tiga lapis sel. Lapisan tengah yang terdiri dari
sel yang besar diapit oleh dua lapisan atas dan bawah yang terdiri dari sel
yang sangat kecil. Alga ini mempunyai bagian berbentuk silindrik yang menyerap
dan mempunyai alat perekat dalam bentuk sebundel benang-benang yang bentuknya
seperti rambut. Thallusnya menghasilkan cabang lateral yang dapat lepas untuk
membentuk alga baru yang bebas dalam perkembangbiakan vegetatif. Pada gambar
2.11, disajikan gambar alga Dictyota
dichotoma.
Gambar
2.11 Dictyota dichotoma (Newton, 1931
dalam Romimohtarto, 2001).
Hormophysa (H.
triquesa), hidup
menempel pada batu dengan alat perekat berbentuk cakram kecil. Alga ini
hidupnya bercampur dengan Sargasum
dan Turbinaria dan hidup pada rataan
terumbu.
Hydroclathrus (H.
clatratus), tumbuh
melekat pada batu atau pasir di daerah rataan terumbu dan sebarannya sangat
luas di Indonesia.
Padina (P. australis), sinonimnya P. gymnospora, tumbuh menempel di batu pada daerah rataan terumbu,
baik di tempet terbuka di laut maupun di tempat terlindung. Padina commersonii adalah alga coklat
yang banyak dijumpai di bawah paras pasang surut. Alat perlekatannya yang
melekat pada batu atau pasir terdiri dari cakram pipih, biasanya terbagi
menjadi cuping-cuping pipih 5-8 cm lebarnya. Tangkai yang pendek dan pipih
menghubungkan alat pelekatnya dengan ujung yang meruncing dari selusin daun
berbentuk kipas atau lebih. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm, dan
pinggirannya berakhir dengan suatu meristem, di tempat itu kerap terjadi
pertumbuhan dan khas menggulung ke dalam untuk perlindungan yang lebih baik.
Setiap daun ditandai oleh satu seri sabuk-sabuk sepusat (konsentrik), yang
merupakan deretan-deretan sel. Daun yang lebih lebar biasanya membelah ke dalam
sepanjang jari-jari. Daunnya berwarna coklat kekuningan, tetapi dapat kelihatan
keabu-abuan disebabkan karena adanya kerak terdiri dari lapisan tipis kapur
pada bagian atasnya. Pada gambar 2.12, disajikan gambar Padina pavonia.
Gambar
2.12 Padina pavonia
Sargasum terdapat teramat melimpah mulai
dari air surut pada pasang surut setengah ke bawah. Alga ini hidup pada batu
atau bongkahan karang dan dapat terbedol dari substratnya selama ombak besar
menghanyutkannya ke permukaan laut atau terdampar di bagian atas pantai.
Warnanya bermacam-macam dari coklat muda sampai coklat tua. Alat pelekatnya
terdiri dari cakram pipih. Dari cakram ini muncul tungkai yang pendek silindrik
yang tegak. Dari tangkai yang pendek ini muncul poros-poros silidrik panjang.
Masing-masing poros ini dapat mencapai 1 m panjangnya di daerah bawah litoral
dimana Sargasum hidup. Pada poros
yang silindris dengan diameter 3 mm terdapat bentuk-bentuk seperti daun,
kantong udara, dan cabang-cabang perkembangbiakan.
Turbinaria terdiri dari tiga jenis yang
tercatat, T. connoides, T. decurrens, dan
T.ornate. Mereka mempunyai
cabang-cabang silindrik dengan diameter 2-3 mm dan mempunyai cabang lateral
pendek dari 1-1,5 cm panjangnya. Ini berakhir pada sebuah reseptakel dengan
pinggiran bergerigi dan garis tengahnya kira-kira 1 cm. Alga ini terdapat di
pantai berbatu dan paparan terumbu.
Rhodophyta
Rhodophyta memiliki thallus yang bersel
banyak (multiseluler), hanya beberapa jenis yang bersel tunggal. Thallus
mempunyai bentuk yang beranekaragam. Sel memiliki plastida yang mengandung
klorofil a, d, dan pigmen fotosintetik lainnya yaitu xantofil, fikobiliprotein
(fikoeritrin dan fikosianin). Jjumlah kedua pigmen ini sangat banyak sehingga
menutupi klorofil dan menyebabkan ganggang ini berwarna merah. Semua pigmen
berada dalam tilakoid kecuali fikobiliprotein yang terdapat pada bagian
permukaan. Pigmen-pigmen ini dapat mengabsorpsi cahaya energi matahari yang
kemudian cahaya itu ditransfer ke klorofil a, sehingga adanya pigmen ini
mempunyai pengaruh langsung dalam proses fotosintesis (Gupta, 1981 dalam Dewi
2006).
Cadangan
makanan berupa tepung floridae, yaitu suatu karbohidrat dalam bentuk
butiran-butiran kecil yang tersimpan dalam sitoplasma dan di luar plastid. Pada
beberapa alga juga terdapat gula floridasida galaktosida dan gliserol.
Dinding
sel terdiri dari selulosa dan polisakarida yang menyerupai lender. Polisakarida
ini adalah agar dan keragenan yang menyusun 70% dari berat kering dinding sel.
Komponen dinding sel ini sangat menarik dan memiliki nilai komersiil yang
sangat tinggi sebagai bahan stabilizer.
Reproduksi
pada jenis primitif secara aseksual, yaitu dengan cara membelah sel atau dengan
spora, sedangkan reproduksi seksualnya belum banyak diketahui. Pada jenis-jenis
yang lebih maju umumnya terdapat reproduksi aseksual dan seksual (Gupta, 1981
dalam Dewi 2006). Sel kelamin jantan dari alga ini tidak berflagel yang disebut
spermatium. Spermatium ini secara pasif terbawa oleh arus air, kemudian melekat
pada alat kelamin betina (karpogonium). Setelah itu inti dari masing-masing sel
kelamin bersatu dan membentuk zigot.
Rhodophyta
mempunyai satu kelas yaitu Rhodophyceae. Kelas ini mempunyai 2 anak kelas,
yaitu anak kelas Bungioidae dan anak
kelas Plorideae (Smith, 1955).
Sebaran alga merah sangat luas, tetapi banyak terdapat di perairan beriklim
sedang. Beberapa jenis alga ini terdapat di daerah sebaran pasang surut, tetapi
pertumbuhan yang subur terdapat di daerah bawah-pasang surut. Di perairan
tropic alga ini umumnya terdapat di daerah bawah-litoral dimana cahaya sangat
kurang. Mereka umumnya berukuran kecil. Sekelompok alga ini ada yang disebut Corallina, yang menyadar kapur dari air laut. Alga ini
terdapat di terumbu karang dan membentuk kerak merah muda pada batu karang dan
batu cadas. Banyak alga ini yang mempunyai nilai ekonomis dan diperdagangkan
yang dikelompokkan sebagai ekspor komoditi.
Di
Indonesia tercatat 17 marga yang terdiri dari 34 jenis. Marga alga tersebut
diantaranya sebagai berikut:
Acanthophora terdiri dari dua jenis yang
tercatat, yakni A. spicipera dan A. muscoides. Alga ini hidup menempel
pada batu atau benda keras lainnya. Jenis yang pertama sebarannya di Indonesia
sangat luas sedangkan yang kedua sebarannya kurang meluas dan terdapat di
tempat tertentu.
Actinotrichia (A.
fragilis)
terdapat di bawah pasang surut dan menempel pada karang mati. Sebarannya sangat
luas terdapat pula di padang lamun.
Amansia (A.
glomerata)
tumbuh melekat pada batu di daerah terumbu karang dan dapat hidup melimpah di
padang lamun.
Amphiroa (A.
fragilissima) tumbuh
menempel pada dasar perairan di rataan pasir atau menempel pada dasar substrat
di lain di padang lamun. Sebarannya sangat luas.
Chondrcoccus (C.
hornemannii)
tumbuh melekat pada substrat batu di ujung luar rataan terumbu yang senantiasa
terendam air.
Corallina belum diketahui jenisnya. Alga
ini tumbuh di bagian luar terumbu yang biasa terkena ombak langsung. Sebarannya
tidak begitu luas.
Euchema adalah alga merah yang biasa
ditemukan di bawah air surut rata-rata pada pasang surut bulan-setengah. Alga
ini mempunyai thallus yang silindrik berdaging dan kuat dengan bintil-bintil
atau duri-duri yang mencuat ke samping pada beberapa jenis. Thalusnya licin,
warna alga ini ada yang tidak berwarna merah, tetapi hanya coklat-kehijauan
kotor atau abu-abu dengan bercak merah. Di Indonesia tercatat empat jenis
antara lain E. denticulatum (E.
spinosum), E. edule, E. alvarezii (Kappaphycus alvarezii) dan E.serra.
Galaxaura terdiri dari empat jenis, yakni G. kjelmanii, G. subfruticulosa, G.
subverticillata, dan G. rugosa.
Mereka tumbuh melekat pada substrat batu di rerataan terumbu.
Gelidiella (G. acerosa) tumbuh menempel pada batu di
daerah pasang hsurut atau bawah pasang surut. Alga ini muncul di permukaan air
pada saat air surut dan mengalami kekeringan. Alga ini digunakan sebagai sumber
alga yang diperdagangkan.
Gigartina (G. affinis=Carpopertis affinis) tumbuh menempel pada batu di
pelataran terumbu, terutama di tempat-tempat yang masih tergenang oleh air pada
saat air surut.
Gracilaria terdiri dari tujuh jenis, yakni G. arcuata, G. coronapifolia, G. folifera,
G. eucheumioides, G. gigas, G. salicornia, dan G. verrucosa.
Halymenia terdiri dari dua jenis , yakni H. durvillae dan H.
harveyuna. Mereka hidup di luar batu karang di luar pelataran terumbu
karang yang selalu tergenang air.
Hypnea terdiri dari yakni H. asperi dan H. servicirnis. Alga ini hidup di habitat berpasir atau berbatu,
ada pula yang bersifat epifit dan penyebarannya luas.
Laurencia terdiri dari tiga jenis yang
tercatat, yakni L. intricata, L.nidifica dan
L. obtus. Alga ini hidup melekat pada
batu di daerah terumbu karang.
Rhodimenia (R.
palmata) hidup
melekat pada substrat terumbu dan batu.
Titanopyra (T.
pulchra)
dijumpai sangat jarang. Jenis ini terdapat di perairan Sulawesi.
Porpyra adalah alga kosmopolitan. Marga
alga ini terdapat mulai dari perairan tropik
sampai daerah subtropik, tetapi persebaran tegaknya sangat terbatas. Pada
umumnya alga ini terdapat di daerah litoral, hidup di atas batu karang pada
pantai yang terbuka serta bersalinitas tinggi. Meskipun demikian ada pula yang
menyukai daerah muara sungai dengan pantai yang agak terlindung serta salinitas
perairan yang relatif rendah, yaitu Porpyra
tenera.
GANGGANG
Ganggang cokelat (Phaeophyta)
Ganggang atau ganggeng merujuk pada semua vegetasi yang
tumbuh di air (baik air tawar maupun air laut), khususnya
yang cukup besar (dapat dilihat mata telanjang), seringkali membentuk massa
yang besar, dan memanjang (berbentuk berkas). Istilah ini tidak memiliki
makna biologi tetapi
biasa digunakan pengguna transportasi perairan untuk menghindari wilayah yang
sulit dilayari.
Istilah
ganggang dalam biologi pernah
dipakai untuk menyebut kelompok organisme rendah alga, namun
mendapat tentangan karena sejumlah anggota tumbuhan berbunga perairan
juga disebut sebagai ganggang (seperti Hydrilla, Ceratophyllum, dan Cabomba). Untuk mencegah kesalahpahaman, istilah
"ganggang" sekarang dihindari dalam konteks botani.
Ganggang
termasuk tumbuhan bertalus, tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati.
Ganggang ada yang bersel satu dan bersel banyak, bersifat eukariotik, ada yang
hidup melayang-layang (neustonik) dan ada yang di dasar air (bentik). Habitat
di air tawar, air laut dan daerah-daerah yang lembab, reproduksi dilakukan
dapat dilakukan secara seksual (konjugasi, anisogami, isogami) atau aseksual.
Berdasarkan pigmennya Alga dapat dibedakan menjadi empat:
Berdasarkan pigmennya Alga dapat dibedakan menjadi empat:
1. Chlorophyta
Alga yang memiliki pigmen fikosianin, memiliki cadangan makanan berupa amilum.
Chlorophyta bersel satu tidak bergerak (ex chlorella, chlorococcum),
chlorophyta bersel satu dapat bergerak (chlamydomonas,euglena), chlorophyta
berkoloni tidak bergerak (hidrodictyon), chlorophyta berkoloni dapat bergerak (
volvox), chlorophyta berbentuk benang (spirogyra, oedogonium), dan chlorophyta
berbentuk lembaran (ulva, chara).
Chlorella
memiliki bentuk tubuh bulat seperti bola, kloroplas berbentuk seperti mangkuk,
dalam kloroplas terdapat perenoid berfungsi dalam pembentukan amilum dan
sebagai tempat penyimpan hasil dari asimilasi yang berupa protein dan
karbohidrat, di laboratorium chlorella digunakan untuk penelitian fotosintesis.
Chlorella dapat dijadikan makanan alternatif dengan alasan sebagai berikut:
apabila ia berada di lingkungan yang baik dengan suhu 25 maka ia dapat
berkembang biak dengan cepat, apabila di dalam medium terdapat nutrisi yang
cukup di tambah karbondioksida dan sinar matahari maka ia akan melakukan
fotosintesis hasilnya berupa karbohidrat, protein, lemak untuk hasil tersebut
dapat disesuaikan dengan keinginan manusia.
Volvox
bentuk koloni bulat seperti bola, dalam koloninya terdapat sel-sel yang menebal
yang berfungsi sebagai alat reproduksi. Volvox yang satu dengan volvox yang
lain dihubungkan oleh benang sitoplasma dan memiliki 2 flagel.
Proses
konjugasi pada spirogyra :
(1) spirogyra yang berbeda jenis kelamin
saling berdekatan
(2) 2 spirogyra tersebut membentuk tonjolan
makin lama semakin dekat dan akhirnya nempel
(3) tonjolan tempat melekatnya 2 spirogyra
tersebut hilang
(4)
spirogyra satu memindahkan isi selnya pada spirogyra yang lain dengan diawali
plasmogami/peleburan plasma dan diikuti dengan kariogami/peleburan inti sel
(5) spirogyra
yang mengeluarkan isi selnya disebut spirogyra jantan. Hasil konjugasi akan
membentuk 4 sel spirogyra dan biasanya hanya satu yang akan menjadi individu
baru.
2.
Chrysophyta
Ganggang
keemasan memiliki pigmen dominan karotin, hidup secara autotrof, reproduksi
aseksual (membentuk auksospora dan membelah diri) seksual (oogami). Chrysophyta
bersel satu (navicula/diatome, ochromonas) dan chrysophyta berbentuk
benang/bersel banyak (vaucheria).
Navicula/diatome/ganggang kersik tubuhnya terdiri atas dua bagian yaitu bagian atas atau tutup (epiteka) dan bagian bawah (hipoteka). Reproduksi dengan aseksual melalui membelah diri dan seksual dengan isogami. Isogami yang terjadi yaitu apabila telur/sel telur sudah mencapai batas minimum maka protoplasma akan keluar dan menjadi badan yang disebut auksospora. Selanjutnya mencapai ukuran normal, auksospora akan membentuk epiteka dan hipoteka seperti semula. Manfaat navicula yaitu sebagai bahan peledak, bahan penyaring, bahan pembuat isolasi, dan bahan penggosok.
Ochromonas bentuk menyerupai bola, kloroplasnya berbentuk lembaran, mempunyai 2 flagel yang tidak sama panjang. Vaucheria inti sel tersebar diseluruh tubuh, memiliki rizoid yang berfungsi sebagai akar (akar tidak memiliki floem dan xilem), di dalam tubuhnya terdapat anteridium penghasil spermatozoid; oogonium penghasil sel telur.
Navicula/diatome/ganggang kersik tubuhnya terdiri atas dua bagian yaitu bagian atas atau tutup (epiteka) dan bagian bawah (hipoteka). Reproduksi dengan aseksual melalui membelah diri dan seksual dengan isogami. Isogami yang terjadi yaitu apabila telur/sel telur sudah mencapai batas minimum maka protoplasma akan keluar dan menjadi badan yang disebut auksospora. Selanjutnya mencapai ukuran normal, auksospora akan membentuk epiteka dan hipoteka seperti semula. Manfaat navicula yaitu sebagai bahan peledak, bahan penyaring, bahan pembuat isolasi, dan bahan penggosok.
Ochromonas bentuk menyerupai bola, kloroplasnya berbentuk lembaran, mempunyai 2 flagel yang tidak sama panjang. Vaucheria inti sel tersebar diseluruh tubuh, memiliki rizoid yang berfungsi sebagai akar (akar tidak memiliki floem dan xilem), di dalam tubuhnya terdapat anteridium penghasil spermatozoid; oogonium penghasil sel telur.
3.
Phaeophyta
Phaeophyta
memiliki pigmen fikosantin. Menghasilkan asam alginat yang berfungsi untuk
pembuatan es krim, pembuatan cat, berfungsi dalam industri untuk penyamakan kertas/menghaluskan
kertas, pernis, obat-obatan, dan pasta gigi. Contohnya Fucus, Sargassum,
Turbinaria, Macrocystis.
Fucus habitatnya di laut sepanjang pantai melekat pada batu-batuan, di dalam tubuhnya terdapat rongga yang menghasilkan gamet disebut konseptakel dan pada bagian ujung tubuhnya terdapat alat untuk perkembangbiakan disebut reseptakelHASIL PENGAMATAN
Fucus habitatnya di laut sepanjang pantai melekat pada batu-batuan, di dalam tubuhnya terdapat rongga yang menghasilkan gamet disebut konseptakel dan pada bagian ujung tubuhnya terdapat alat untuk perkembangbiakan disebut reseptakelHASIL PENGAMATAN
A.GAMBAR
GAMBAR/
|
GAMBAR
|
|
|
B.PENGAMATAN
MENGGUNAKAN MICROSKOP
Alga
|
ganggang
|
|
|
HASIL PENGAMATAN
GAMBAR/NAMA TANAMAN
|
TAKSONOMI
|
|
Ganggang
|
|
|
|
Chlorophyta
(ganggang hijau)
|
|
|
|
alga
|
|
|
|
hydrila
|
|
Batang
dikotil dan Monokotil
Batang Monokotil :
- Batang tidak bercabang-cabang
- Pembuluh angkut tersebar
- Tidak mempunyai kambium
vaskuler, sehingga tidak dapat tumbuh membesar
- Mempunyai meristem interkalar
- Tidak memiliki jari-jari
empulur
- Tidak dapat dibedakan antara
korteks dan empulur
Batang
Dikotil :
- Batang bercabang
- Pembuluh angkut teratur dalam
susunan lingkaran atau berseling radial
- Mempunyai kambium vaskuler,
sehingga dapat tumbuh membesar
- Tidak mempunyai meristem
interkalar
- Jari-jari empulur berupa
deretan parenkima di antara berkas pengangkut
- Dapat dibedakan antara daerah
korteks dan empulur
Struktur batang
Struktur
batang dikotil
- Epidermis,
mengalami penebalan zat gabus dan kutikula, termodifikasi membentuk lenti
sel.
- Kortex,
Jaringan parenkim dengan r. a.s. dan jaringan penguat dengan penebalannya.
- Endodermis,
mengandung zat tepung, terdapat floeterma (selaput tepung).
- Silinder
pusat, terdapat Berkas Pengangkutan (BP)/Jaringan Pengangkutan (JP) tipe
kolateral terbuka. Terdapat empulur dan perisikel.
- Tidak
mempunyai kambium
- Pertumbuhannya
terbatas
- Ikatan
pembuluh dengan tipe kolatral tertutup
- Memiliki
empulur dan sklerenkim
- Epidermis
dengan stomata dan bulu-bulu akar
Batang monokotil Batang
dikotil
Fungsi
Batang
A. Mendukung
bagian-bagian tumbuhan yang ada di atas tanah, yaitu : daun,bunga, dan buah.
B. Dengan
percabangan memperluas bidang asimilasi dan menempatkan bagian-bagian tumbuhan
di dalam ruang sedemikian rupa, hingga dari segi kepentingan tumbuhan
bagian-bagian tadi terdapat dalam posisi yang paling menguntungkan .
C. Jalan
pengangkutan air dan zat-zat makanan dari bawah ke atas dan jalan pengangkutan
hasil-hasil asimilasi dari atas ke bawah
D. Menjadi
tempat penimbunan zat-zat makanan cadangan
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil pengamatan proses bahwa alga dan ganggang memang berbedan dan
perbedaannya dapat kita lihat dari bahasan di atas bahwa Alga termasuk organism fotosintetik, memiliki
kloroplas, dijumpai di
tempat lembap, air tawar,air
laut,
atau
menempel
pada
batu
karang
dan
menempel
pada
pohon. Organisme
ini
dapat
hidup
secara plankton (mengapung,
terbawa arus), bentos (di dasar
perairan) atau
perifiton (menempel)
.Ada yang uniseluler
bersifat
soliter
dan
koloni, dan
ada yang multi
seluler
berbentuk
benang
atau
lembaran.
Ada yang mikroskopis
dan
ada pula yang macros
kopis, beberapa alga dapat
merugikan
manusia
karena
menghasilkan
racun, anti
bakteria, atau
bersifat
parasit.
Spesies
tertentu
dapat
berperan
sebagai
bioindikator, bioremidiator,
atau sebagai sumber makanan tambahan.Tubuh alga disebut
thallus, karena
belum
dapat
dibedakan
akar, batang
dan
daun.
SUMBER
Ambas, Irfan. 2006. Pelatihan Budidaya Laut (Coremap Fase II Kab. Selayar). Makasar:
Yayasan Mattirotasi. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 23 November 2009
BAPPEDA Kabupaten Buleleng. 2003. Peta Pembagian Wilayah Administrasi
Kecamatan dan Peta Ketinggian Kecamatan. Peta Wilayah. Tidak diterbitkan
Bawa, W. 1996. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. STKIP Singaraja: Singaraja
Dewi, Puspita. 2006. Keanekaragaman Alga Makroskopis Pada Zone Litoral di Beberapa Pantai
Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Tidak diterbitkan
Hill, K. 2001. Smithsonian Marine Station: Enteromorpha spp. Available from: irl_webmaster@si.edu. Diakses pada tanggal 28 Juli 2010
Indriani, Hety dan Sumiarsih, Emi. 1997. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput
Laut. Jakarta: Penebar Swadaya
Jelantik Swasta, Ida Bagus. 2003. Diktat Ekologi Hewan. Singaraja: IKIP
Negeri Singaraja
Jelantik Swasta, Ida Bagus. 2003. Tinjauan Singkat Tentang Aspek Biologi dan
Ekologi Rumput Laut. Makalah Seminar. Tidak diterbitkan.
Kennish, Michael J. 2001. Practical Handbook of Marine Science.
London: CRC Press
Lunning, Klaus. 1990. Seaweeds: Their Environment, Biogeography, and Ecophysiology.
Canada: John Wiley and Sons, Inc.
McNaughton, S. J. and Larry L Wolf. 1973. General Ecology. Rinehart and Winstons,
Inc.
Nybakken, James W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia
Odum, Eugene P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Prees
Prabowo, Yudi. 2007. Budidaya Rumput Laut. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 23 November 2009
Pronawa, Ida Ketut. 2008. Studi Tentang Keragaman dan Kelimpahan
plankton dan Nekton Dalam Kaitannya dengan Karakteristik Perairan di Muara
Sungai Tukad Saba dan Tukad Bengkala. Tidak diterbitkan
Romimohtarto, Kasijan dan Sri Juwana. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota
Laut. Jakarta: Djambatan
Rusnani, Anita. 2006. Inventarisasi Banteng (Bos Javanicus d’Alton) di area Merumput Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Tidak
diterbitkan
Setiawati. 2000. Analisis Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Lumut Pada Tembok
Penyengker Pura Penulisan di Kabupaten Bangli. Tidak diterbitkan
Smith, G. M. 1955. Criptogamic Botanie Algae and Fungi. New Delhi: Tata Mc. Grraw Hill
Publising Company. Ltd
Sutomo, Budi. 2006. Rumput Laut Bahan Pangan Lezat Multi Khasiat. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 3 Desember 2009
Widana, I Made. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Bintang Mengular (Ophiiuroidea) di
Daerah Pasang Surut Pantai Lingga. Tidak diterbitkan
Widayanti, Ni Luh Lisna. 2008. Analisis Potensi Pantai Gondol di Kecamatan
Gerokgak untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut Ditinjau dari Karakteristik
Perairannya. Tidak diterbitkan.
Yesinta, Stephanie. 2009. Ekosistem Pesisir. Availlable from: www.dkp.go.id. Diakses pada tanggal 3 Desember 2009.
PENILAI
|
|
|
|
No comments:
Post a Comment